Rabu, 01 Februari 2012

REALITAS PENDIDIKAN DI KABUPATEN CIANJUR
(KRITIK ATAS KEBIJAKAN PENDIDIKAN)
Oleh
Apep Munajat
(Disampaikan pada Seminar Sehari yang diselenggarakan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kabupaten Cianjur)
 
<script data-ad-client="ca-pub-5472439132536087" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>

Pendahuluan
Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Pendidikan akan senantiasa diperlukan selama manusia itu ada. Tanpa pendidikan manusia sulit untuk berkembang dan mungkin akan terbelakang. Pendidikan bagi kehidupan manusia ibarat nutrisi di dalam makanan. Ketika tubuh kita kekurangan nutrisi maka kesehatannya akan terganggu. Dalam tubuh kita nutrisi senantiasa diperlukan untuk menjaga kondisi kesehatan tubuh. Begitu pula pemikiran kita sangat memerlukan nutrisi yang sehat. Pendidikanlah nutrisi yang paling tepat untuk pikiran kita agar mampu menciptakan berbagai karya manusia, mencerdaskan kehidupan manusia, membentuk manusia cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa.
Tidak hanya sebatas itu dengan pendidikan manusia dianugerahi ilmu pengetahuan dan Allah SWT menjanjikan untuk meningkatkan manusia beberapa derajat seperti dalam Q.S. Mujadalah :11 yang artinya
Allah akan mengangkat orang-orang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Maka dengan itu pendidikan akan menciptakan manusia yang berharga diri dan berkualitas yang berorientasi pada kebenaran dan menjadikan dirinya bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa. Dalam arti lain manusia diharuskan memiliki kecerdasan secara luas dan arif dalam tingkatan lokal, tingkat nasional maupun global. Sehingga di akhir nanti memiliki kemampuan mengolah bangsa dan negara dan memiliki kearipan terhadap budaya lokal sebagai insan yang melestarikan budaya bangsa. Bukan malah melalui proses pendidikan semakin membentuk mental korup yang selama ini sudah sistemik dan mendarah daging.
Ketika fenomena koruptor ini merajalela kita bertanya-tanya apakah benar para koruptor yang semakin merajalela ini merupakan produk dari pendidikan kita selama ini? Boleh jadi terlalu sarkasme kalau dikatakan koruptor itu dicetak oleh sistem pendidikan Indonesia selama ini. Apapun sistem dan konsep yang telah dirancang oleh arsitek pendidikan Indonesia sudah pasti tidakah bermaksud menciptakan koruptor itu. Tetapi mengapa para koruptor itu terus lahir dan lahir terus sehingga Indonesia semakin terasa sempit karena terlalu banyak warganya yang bermental korup.
Berbicara masalah pendidikan memang sangatlah luas mencakup berbagai aspek dan selalu berkaitan dengan aspek-aspek lainnya. Sepanjang sejarah manusia pendidikan selalu menjadi pokok pikiran yang tak pernah menemukan titik temu. Problema pendidikan kita semakin kompleks dan sarat dengan tantangan seiring dengan perkembangan global.
Berbagai upaya pembenahan dan peningkatan mutu pendidikan terus dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan berbagai kebijakan dan program. Namun, kebijakan dan program-program tersebut nampak tidak memberi jawaban solutif terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan yang berkembang. Kebijakan dan perubahan-perubahan pendidikan kita, kurang memiliki “prioritas” yang ingin dicapai. Akibatnya program dan kebijakan tersebut dipahami masyarakat secara samar-samar. Di satu sisi, perbaikan pendidikan dinyatakan sebagai sub-sistem pembangunan nasional sebagai identitas sistem secara keseluruhan, tetapi di sisi lain program-programnya tidak memiliki konsep yang cukup jelas untuk menjawab paradigma pembangunan yang berorientasi pada pola dan permasalahan kehidupan global yang menuntut kontribusi pendidikan yang dinamis dan bervariasi.
Sebut saja kebijakan pemerintah tentang UN, BOS, Kesejahteraan dan Sertifikasi Guru, Penyediaan Sarana dan Prasarana pendidikan, sampai kepada maraknya jenjang pendidikan setingkat SMP dengan wajah yang berbeda seperti SMP Terbuka, SMP Satu Atap, serta program Rintisan Sekolah Bertarap Internasional (RSBI). Apakah semua program ini telah terrealisasi dengan baik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai? Hambatan apa saja selama program ini dijalankan? Maka di sini akan dicoba dikritisi berdasarkan analisis di lapangan. Analisis yang akan kita lakukan adalah analisis pragmatis bukan normatis. Hal ini karena pembahasan akan dilakukan dengan landasan analisis kritis terhadap realitas pendidikan.

UN antara idealisme dan Realita
Pelaksanaan UN menjadi prokontra di antara kalangan masyarakat. Penerapan sistem UAN (Ujian Nasional) dengan standar minimal penilaian kelulusan adalah sebuah fenomena yang memperluas permasalahan di lapangan, yang sampai detik ini masih terus diperdebatkan kelayakannya. Benarkah sistem ini mampu meningkatkan kualitas pelajar kita? Yang terjadi di lapangan justru kecurangan bahkan “pembodohan kolektif”. dengan melakukan pembocoran Jawaban dari soal-soal UN oleh (oknum) sekolah-sekolah tertentu. Atau demi menjaga citra sekolahnya dengan berkeinginan mendapat predikat lulus 100% dibentuklah Tim Sukses. Tim sukses menjadi rahasia umum setelah kelulusan siswa diukur dengan nilai rata-rata minimal yang ditentukan pemerintah.
Di samping adanya pembodohan secara kolektif, UN menjadikan guru bidang studi tertentu stres karena dihantui ketakutan yang dalam terhadap kelulusan siswa. Seolah-olah yang ujian itu adalah guru. Akhir dari kondisi ini guru mencari jalan pintas dengan menghalalkan berbagai cara yang penting siswa mampu mencapai target lulus.
Selanjutnya dengan fenomena tersebut apakah UN benar-benar dapat dijadikan rujukan oleh pemerintah terhadap pencapaian standar nasional? Sementara ketika ditemukan siswa yang dianggap tidak mampu mencapai rata-rata nilai lulus kemudian dilakukan rekayasa oleh oknum sekolah dan dipaksakan untuk mencapai target lulus.
Hal ini akan menjadi dilema ketika sekolah harus tetap mempertahankan idealismenya. Dan ketika hal ini dilakukan maka dapat ditemukan di beberapa sekolah yang sebagian siswanya tidak lulus, bahkan di sebagian wilayah Indonesia ditemukan hampir 100% tidak lulus. Ketidaklulusan ini menjadikan semakin bertambahnya korban kebijakan UN yang selama ini diterapkan. Maka tidak heran dampak dari semua itu menuai berbagai reaksi dari berbagai kalangan. Terjadilah demonstrasi masyarakat, guru, pelajar, dan pemerhati pendidikan lainnya. Mereka menuntut adanya pembubaran UN dan diganti dengan format lain yang lebih manusiawi.
Pelaksanaan UN selama ini berlangsung sangat kontradiksi antara pelaksanaan UN yang super ketat dengan manipulasi jawaban siswa. Keterlibatan pihak lain dalam pelaksanaan UN seperti Pemantau Independen dan kepolisian mulai dari pengambilan soal sampai dengan pelaksaan UN menimbulkan suasana UN sangat mencekam bukan ketenangan akibatnya sekolah layaknya sarang teroris.
UN dirasakan semakin bingung karena di lapangan bukan menjadi motivasi bagi guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Guru hanya ingin mengejar target saja tidak memperhatikan fungsi dan makna pendidikan yang lainnya. Sehingga UN hanyalah upaya untuk meningkatkan kecerdasan akal saja (IQ). Padahal pendidikan bukan hanya sebatas itu, tetapi kecerdasan lainpun perlu mendapat perhatian yang seimbang seperti EQ, SQ, dan kecerdasan yang lainnya.
Di akhir pembahasan mengenai fenomena realitas UN ini penulis sebagai praktisi pendidikan dalam arti guru ingin menyampaikan saran dan harapan kepada pembuat kebijakan khusus mengenai UN supaya UN tetap pada idealismenya sebagai alat untuk mengukur kemajuan pendidikan dan tetap menjadi pengendali mutu pendidikan tingkat nasional.
1. Jangan dijadikan UN menjadi faktor penentu kelulusan dengan angka sebagai target utama. Walaupun ada kebijakan lebih baik tentang kelulusan dua tahun terakhir ini yakni menggabungkan rata-rata nilai raport dengan Nilai murni UN. Kebijakan ini sepertinya masih belum mampu menekan manipulasi jawaban atas pesanan oknum orang tua yang menitipkan anaknya agar kelak bisa diterima di SMA pavorit pilihannya.
2. Jangan dijadikan hasil UN sebagai alat diterima atau tidaknya pada jenjang SMA. Artinya pada tingkat SMA harus memiliki alat tes sendiri yang dibuat sekolah.
3. Soal-soal UN harus mampu memotret seluruh kompetensi dan karakter siswa. Termasuk melibatkan apeksi dan psikomotor siswa. Bila perlu soal-soal UN memperhatikan EQ dan SQ.
4. harus ada sinergi antara UN dan praktik pembelajaran yang berlangsung di sekolah. Hal ini karena UN disinyalir menjadi penghambat bagi guru untuk mengembangkan pembelajaran yang dialogis, terbuka, dinamis, menarik, dan menyenangkan serta melibatkan kondisi-kondisi ril kehidupan masyarakat sekitarnya.

Kondisi Nyata Pelaksanaan Sertifikasi Guru
Program sertifikasi guru merupakan amanat UU No 20 tahun 2003 tentang SPN yang selanjutnya lebih diperjelas lagi pada UU NO 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen kemudian lebih spesifik lagi dijelaskan pada Peraturan pemenrintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.
Gagasan awal sertifikasi adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan. Sesui amanat UU Nomor 14 tahun 2004 tentang Guru dan Dosen yang menetapkan kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sebagai suatu kesatuan upaya pemberdayaan guru. Maka program ini hendaknya janganlah dipandang sebagai proses legalisasi semata, akan tetapi harus dipandang sebagai ijtihad untuk meningkatkan kompetensi profesi guru. Karena itu proses ini harus betul-betul dilakukan secara teliti dan cermat agar tak menurunkan mutu guru.
Namun kenyataan di lapangan pelaksanaan sertifikasi masih menyisakan setumpuk permasalahan. Sejak dimulainya sertifikasi guru, guru diharuskan mengumpulkan portopolio dengan mengumpulkan sejumlah nilai minimal 850. Profesionalisme guru ukurannya adalah dokumen portopolio padahal banyak sekali oknum peserta sertifikasi yang memanifulasi data dengan memasukan dokumen piktif. Lantas melalui kegiatan ini bagaimana dengan pemberdayaan profesionalisme guru? akhir dari sertifikasi inii para guru mesti memiliki sertifikat pendidik sebagai bukti dan legalitas guru profesional. Untuk itu, guru mesti mengikuti uji sertifikasi sampai mendapatkan sertifikat guru yang dianggap sebagai bukti sahih bahwa guru yang bersangkutan benar-benar profesional. Apakah melalui sertifikat ini bisa digunakan untuk mengukur tingkat profesionalitas guru? ini adalah pertanyaan besar yang perlu dievaluasi pemerintah.
Evaluasi perlu dilakukan supaya tidak terlalu memboroskan waktu dan biaya. Kalau memang pemerintah peduli untuk meningkatkan kesejahteraan guru sebagai starting point dalam meningkatkan kinerja guru, naikkan saja gaji guru berdasarkan prestasi dan masa kerja. Lalu, berdayakan komunitas dan organisasi profesi guru sebagai wadah untuk berbagi dan bersilaturahmi. Tidak melalui proses yang rumit dan panjang. Bila perlu bagi guru yang sudah mengabdi langsung diberikan sertifikat pendidik tanpa harus melalui proses yang panjang yang tentunya memakan biaya yang tak sedikit, sehingga pemerintah bisa sedikit menghemat. Toh pada akhirnya semua guru diwajibkan mendapat sertifikat. Masalah profesionalisme sementara di kesampingkan karena portopolio dan PLPG tidak bisa menyulap guru menjadi profesional. Dan setelah diterima sertifikat pendidik maka pemerintah harus segera mencairkan tunjangannya tanpa harus melalui proses yang berbelit.
Sertifikat memang sangat diperlukan karena sebagai wujud dari profesionalisme dan kelayakan. Namun bagi guru dalam jabatan seperti yang telah dikatakan di atas proses perolehan sertifikatnya harus langsung, karena prosedur yang sedang berjalan terlalu rumit dan mungkin sarat dengan manifulasi. PLPG dianggap sebagai “kawah candradimuka” menyulap guru yang asalnya tidak profesional dalam jangka waktu sembilan hari dinyatakan menjadi guru profesional. Menciptakan guru profesional dalam arti memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional tidak bisa dalam waktus sesingkat itu, tetapi tentunya akan memerlukan waktu cukup lama.
Yang paling kontradiksi antara kualitas dengan realitas adalah bahwa melalui program sertifikasi telah terjadi penghalalan mismatch guru dengan mata pelajaran yang diampunya. Sebagai contoh DI MTs guru yang berlatar belakang PAI mengajar bahasa Inggris kemudian dia mengikuti sertifikasi mata pelajaran bahasa Inggris. Maka ketika kita berbicara kualitas terlalu dini untuk mengatakan profesional. Pengetahuan yang ia peroleh tentu bukan bahasa Inggris melainkan PAI. Pengetahuan dan kemampuan bahasa Inggris ia peroleh hanya melalui otodidak yang secara akademik tidak bisa dipertanggungjawabkan. Hal semacam ini salah satu contoh kasus yang perlu mendapat perhatian serius bagaimana solusi yang paling tepat agar tetap guru memiliki kompetensi.
Setelah guru dinyatakan profesional dengan bukti fisik sertifikat guru profesional, ternyata masih pula ditemukan permasalahan, yang di antaranya adalah pencairan tunjangan sertifikasi yang tersendat. Katidakmenentuan pencairan tunjangan sertifikasi ini mengakibatkan guru pun resah karena mereka telah ditunggu oleh berbagai kebutuhan yang mendesak.

Sarana dan Prasarana Pendidikan
Sarana dan prasarana bagi lembaga pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting. Kemajuan sebuah lembaga dapat dilihat dari seberapa lengkap sarana dan prasarana yang tersedia. Permasalahan seputar sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah yang gedungnya rusak, dan belum tersentuh perbaikan sama sekali dari pemerintah, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Permasalahan di atas harus menjadi bagian penting yang harus segera diperbaiki karena berdampak pada kenyamanan belajar peserta didik yang menimbulkan banyak sekali efect, permaslahan seperti ini sepenuhnya tanggung jawab pemerintah dalam mengakomodasi perbaikan.

Antara SMP Induk, SMP Terbuka, SMP Cerdas Satu Atap, sampai dengan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI).
Selama ini saya sebagai seorang praktisi pendidikan dalam arti seorang guru sering mempertanyakan apa maksud yang sebenarnya dari dikeluarkannya kebijakan tentang SMP Terbuka, SMP Cerdas Seatap, atau yang lainnya. Padahal menurut pandangan penulis yang pernah pula mengelola SMP terbuka merasa ada sesuatu yang kurang dari pelaksanaan ini. Walaupun untuk menjaring peserta didik yang tidak bisa menjangkau SMP induk, tetapi menurut saya hal ini hanyalah format formalitas saja yang akhirnya supaya anak mendapat selembar ijazah padahal kemampuan akdemiknya masih perlu dipertanyakan. Memang mereka bisa belajar paruh waktu di sela-sela luangnya. Sebab mereka kebanyakan dari kalangan tidak mampu dan kesehariannya bekerja membantu orang tuanya mencari nafkah. Apalah arti dari selembar ijazah kalau toh pengetahuan mereka seadanya. Menurut pandangan saya masih lebih bagus tidak memiliki selembar ijazah tetapi ilmu pengetahuannya luas dan dalam melalui proses belajar mandiri non formal.
Semakin bingung lagi setelah muncul SMP dalam format yang lain, yaitu SMP Cerdas Satu Atap. Apa bedanya antara SMP Terbuka dengan SMP Cerdas Satu Atap? Kemunculan SMP Cerdas satu Atap sering kali menimbulkan polemik yang tidak berujung, baik di kalangan pembuat kebijakan, pengelola, guru, siswa, sampai pada orang tua siswa.
Dalam hal pendirian SMP Cerdas Satu Atap tentunya perlu ada kajian yang cukup mendalam karena kemunculannya ibarat jamur di musim hujan. Kadang-kadang pendiriannya hanya didasari oleh pemanfaatan kesempatan untuk menjaring aliran dana yang dukucurkan pemerintah saja. Hal lain yang menjadi faktor utama pendirian sebuah sekolah sepertinya diabaikan. Secara sederhana mungkin dapat saya katakan mendirikan lembaga pendidikan tidak semudah membalikan telapak tangan. Artinya, pendirian sebuah sekolah harus didukung oleh berbagai faktor yang tentunya tidak sekedar untuk kepentingan jangka pendek saja, tetapi perlu dipikirkan juga jauh ke depan supaya kelestarian lembaga pendidikan itu tetap terjaga.
Perlu dikaji pula, ketika SMP Terbuka dan SMP Cerdas satu atap berdiri, maka harus ada kesiapan mulai dari SDM sampai dengan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. Ketika dilihat di lapangan ternyata hal ini sangat diabaikan oleh pendiri dan pengelola. Akibatnya siswa Cerdas Seatap diajari dan dibina oleh guru seadanya, yang mungkin kualifikasi dan kompetensinya kurang layak.
Yang paling menggelikan ada kabar sebuah SMP seatap ternyata muridnya diakui pula oleh SMP terbuka yang memang tempatnya di sebuah Sekolah Dasar yang sama. Berarti uang BOS pun cair untuk kedua lembaga tersebut padahal siswanya itu-itu juga. Kita perlu mempertanyakan apa maksud pengelola tersebut sehingga hal ini dibiarkan begitu saja. jika saja hal ini benar terjadi berarti begitu buruknya potret pendidikan Indonesia.
Bagaimana tentang RSBI? Saya menyikapi bahwa RSBI merupakan ide yang sangat brilian dan perlu diacungkan jempol kepada pemerintah. Karena di sini pemerintah ingin mensejajarkan pendidikan kita dengan pendidikan internasional. Namun perlu pula dikaji dari sisi lain yang tak kalah pentingnya sebagai bahan pertimbangan pembuat kebijakan. Yaitu, pemunculan RSBI seakan-akan melupakan kearifan budaya lokal yang menurut penulis jauh lebih unggul dibandingkan dengan budaya barat. Tetapi kita sering apriori terhadap budaya lokal dan tradisional. Seolah –olah budaya lokal dan tradisional itu adalah kuno dan ketinggal zaman. Padahal tidak sedikit orang Barat sendiri datang ke Indonesia hanya untuk menyaksikan keagungan budaya daerah bahkan ada yang langsung mempelajari keragamannya.
Memang RSBI adalah amanat UU No 20 Tahun 2003 pada Bab XIV pasal 50 ayat 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pemerintah daerah harus mengembangkan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan menjadi bertaraf internasional. Kabupaten Cianjur tentu perlu dikaji kesiapannya. Walaupun beberapa sekolah telah mencoba merintisnya. Namun tentunya perlu dievaluasi agar keberlangsungannya tetap menjadi sekolah yang benar-benar unggul baik di tingkat daerah, di tingkat nasional, maupun di tingkat internasional. Pemikiran yang paling sederhana mungkin sekolah tersebut harus memiliki tahapan secara alamiah dalam arti bertaraf lokal, naional, dan internasional. Setelah menjadi SBI maka tentunya harus benar-benar menunjukkan kualitas internasionalnya dan berbeda dengan kelas-kelas lain. Pada kelas internasional tentu harus menunjukkan kualitas peserta didik yang berbeda pula dan ini yang menjadi ukurannya adalah Ujian Nasioanl. Jangan sampai kelas internasional lantas prestasinya di bawah kelas reguler lain. Kita sering mendengar sebuah plesetan untuk RSBI, yaitu Rintisan Sekolah Bertarif Internasional. Begitulah plesetan masyarakat yang memang RSBI cukup mahal sehingga untuk ukuran masyarakat dengan berpenghasilan menengah ke bawah untuk bisa masuk ke kelas internasional adalah mimpi.

Prilaku dan Akhlak Peserta Didik
Membicarakan masalah dunia pendidikan di Indonesia sepertinya selalu menarik untuk diperdebatkan. Ibaratnya menegakkan benang basah, sukar sekali untuk mencari format terbaik dalam mengelola pendidikan di tanah air. Berganti-gantinya peraturan bukannya semakin mengerucutkan permasalahan yang akan memudahkan dicari solusi pemecahannya namun malah semakin rumit dan apalagi jika dikaitkan dengan isu-isu politik atau dipolitisir. Sementara itu di lapangan tawuran pelajar masih marak terjadi, narkoba semakin merajalela, premanisme dan tingkat kriminalitas pelajar meningkat, bahkan hal-hal yang tidak sepatutnya mereka lakukan seperti seks bebas dan aborsi mengalami kecenderungan meningkat.
Tawuran antar pelajar juga masih sering mewarnai Cianjur sebagai tatar santri dan ini memicu semakin kusamnya pendidikan kita (ironis sekali). Dari dulu sampai sekarang tidak pernah ditemukan titik penyelesaian. Padahal menurut mereka pemicu dari semua itu tidaklah substansial bahkan hanya sepele saja, misalnya gara-gara rebutan pacar, tersenggol ketika nonton konser, pertandingan persahabatan, saling ejek mengejek, dsb. Yang semua pemicu itu sebetulnya tidak patut terjadi sampai tawuran karena kita adalah negara Pancasila yang mengutamakan msyawarah dalam penyelesaian masalah.
Ketika di angkat di forum diskusi, seminar, dan sejenisnya dan para pakar pendidikan berbicara yang menjadi penyebab semua permaslahan di atas adalah selalu mengkambinghitamkan pada kurangnya pendidikan moral di sekolah serta ditambah pengaruh media komunikasi dan hiburan yang semakin sering menayangkan adegan kekerasan. Di sekolah terlalu mengutamakan pembelajaran dalam mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi, semua kegiatannya berorientasi pada keterampilan dan kecerdasan otak saja. Sementara nilai-nilai moral, religius, dan kepribadian, kesolehan, serta pendidikan karakter masih belum cukup untuk membentuk pribadi peserta didik yang berakhlaq mulia. Atau mungkin oleh faktor moral dan kepribadian guru itu sendiri yang belum mampu menjadikan model positif di depan siswanya, sehingga beresonansi terhadap jiwa siswa. “Akibatnya siswa kencing berlari karena gurunya kencing berdiri”
Padahal Cianjur adalah kota santri dengan motonya Gerbang Marhamah (Gerakan Masyarakat berakhlakul karimah). Namun semakin kita mencanangkan program-program yang berbau religius dan pembentukan akhlak mulia maka seiring dengan itu pula semakin bermunculan kasus-kasus sebagai indikasi paradoksal. Mungkin inilah ujian terberat untuk menjdikan Cianjur menjadi kota santri, kota seribu mesjid, dan gerabng marhamah.

Kesimpulan
Demikian uraian singkat ini. Diangkat kepermukaan bukan berarti membeberkan kelemahan dan kekurangan namun di sisi lain harus adanya introsfeksi diri dan menggugah kesadaran terhadap realitas pendidikan kita agar segera memperbaiki dan membenahi semua kekurangan dan kelemahan sehingga ketertinggalan kita tidak berlarut-larut. Jangan kalah oleh Malaysia yang dulu mereka belajar dari kita, masa hari ini kita belajar kepada mereka.
Dunia pendidikan kita sepertinya sedang sakit, sehingga diperlukan dokter-dokter pendidikan untuk segera mengobatinya agar cepat sembuh. Pendidikan Indonesia sudah saatnya diperbaiki. Menciptakan nilai-nilai demokrasi di dalam pendidikan Indonesia jauh lebih baik dan penting sehingga pendidikan menjadi jargon kemajuan bangsa. Sudah seharusnya dari sekarang pendidikan tidak dijadikan alat untuk kepentingan politik, tetapi pendidikan dijadikan alat untuk menciptakan manusia yang cerdas, unggul, kompetitif, dan berakhlakul karimah.

Terima kasih

Senin, 16 Mei 2011

MENGKRITISI PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL
Benarkah dengan sistem UN sekarang menunjukkan kualitas peserta didik?

Rabu, 08 September 2010

Paradigma Baru Pendidikan IPS di MTs

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Semua negara di dunia sepakat bahwa dalam rangka peningkatan kualitas manusia harus bersumber dari pendidikan. Pendidikan menyumbang sangat besar terhadap mutu hidup manusia. Tentunya pendidikan yang bagaimana yang mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup manusia itu? Jawabannya adalah pendidikan yang berkualitas.
Diyakini bahwa pendidikan selain memberikan amunisi memasuki masa depan, ia juga memiliki hubungan dialektikal dengan transformasi social masyarakat (Departemen Agama, 2004:1). Pola pendidikan MTs di desain untuk transformasi system pengetahuan dan teknologi serta pengembangan dan pelestraian sosio-kultur masyarakat melalui pendidikan IPS.
Kerangka pemikiran di atas memberikan pengertian bahwa pendidikan di MTs dibangun guna melaksanakan amanah masyarakat untuk mengantarkan peserta didik pada jenjang kesempurnaan individu yang hakiki. Artinya individu yang selalu siap menghadapi tantangan hidup yang lebih kompleks serta diharapkan memiliki bekal yang luas dalam menghadapi masa depan yang langgeung, yakni akhirat kelak. Senada dengan ini dikemkakan Somantri ( 2001: 180) mengatakan bahwa aktualisasi pendidikan IPS ini akan lebih banyak menekankan langkah straegis jangka panjang yang aka melewati proses pendidikan yang cukup panjang dalam “laboratorium demokrasi” sebagai investasi sumber daya manusia (human investmen) agar mutu generasi muda semakin meningkat dalam upaya demokratisasi untuk memnghapai masa mendatang yang akan penuh dengan masalah dan tantangan.


Pendidikan yang berkualitas sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya guru, siswa, sarana dan prasarana, lingkungan pendidikan dan kurikulum (Widoyoko, 2008). Faktor guru memegang peranan yang sangat penting karena guru merupakan garda paling depan yang secara langsung berhadapan dengan subjek didik. Subjek didik inilah yang menjadi fokus penentu berhasil tidaknya proses pendidikan. Maka dengan itu guru harus benar-benar menguasai berbagai kompetensi agar mutu lulusan dapat bersaing nanti setelah terjun di lingkungan masyarakat yang majemuk. Hal ini karena kita menyadari bahwa subjek didik (siswa) merupakan investasi terbesar bagi bangsa ini dalam menentukan nasib bangsa ke depan
lingkungan pendidikan dan kurikulum pada suatu institusi berperan sebagai pengendali maju mundurnya suatu lembaga pendidikan. lingkungan pendidikan dan kurikulum merupakan proyeksi dari dan untuk masyarakat. Sekolah sebagai pusat pendidikan formal adalah seperangat masyarakat yang diserahi kewajiban mengejawatahkan pendidikan.
Madrasah Tsanawiyah adalah institusi pendidikan setingkat SMP yang berada di bawah naungan Departemen Agama. Orang sering mengatakan MTs merupakan sekolah yang berciri khas agama Islam. Lembaga pendidikan ini belum dikenal orang secara luas, seperti halnya SMP, namun jika di kaji lebih mendalam tentang lembaga ini ternyata memiliki keunggulan dan kelebihan di bandingkan dengan lembaga-lembaga setingkatnya. Muatan kurikulum pada Madrasah tsanawiyah didesain dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional juga dalam rangka membentuk pribadi yang berakhlakul karimah. Kurikulum yang diterapkan di MTs merupakan hasil integrasi dan modifikasi dari kurikulum Depag, Depdiknas, dan Pesantren. Kurukulum ini diorientasikan untuk memberikan landasan kepribadian, keilmuan dan keterampilan bagi anak didik untuk pengembangan lebih lanjut pada jenjang-jenjang pendidikan berikutnya.
Di dalam muatan kurikulum terdapat mata pelajaran PAI, Umum, dan Muatan Lokal. Di dalam implementasi kurikulum mata pelajaran umum di dalamnya terdapat Pendidikan Ilmu pengetahuan Sosial (IPS). IPS pada tingkat MTs diadaptasi sebagai mata pelajaran yang terdiri dari unsure Geografi, Sosiologi, Ekonomi, dan Sejarah. Pada kurikulum 2006 (KTSP) IPS termasuk IPS terpadu yang terintegratif dari unsure-unsur yang telah disebutkan tadi.
Pentingnya pendidikan IPS di MTs adalah dalam rangka membimbing peserta didik untuk memperoleh keterampilan social dan pengembangan aplikasi demokrasi dalam praktik kehidupan dirnya sebagai interaksi dengan lingkungan masyarakat, bangsa, dan negaranya. Somantri ( 2001: 180) mengatakan bahwa walaupun aktualisasi Pendidikan IPS dalam upaya demokratisasi akan menekankan pada aspek akademiknya, tetapi unsure partisipasi dan masalah social dalam masyarakat akan memperkaya proses laboratorium demokrasi Pendidikan IPS agar dialog kreatif bisa berkembang dan bisa mengurasngi dialog imperative yang hingga sekarang masih sulit dibah dalam kehidupan masyarakat, bahkan juga dalam kehidupan akademik.
Namun dari semua uraian di atas terkait implementasi pendidikan Ilmu pengetahuan Sosial sungguh sangat memprihatinkan. Banyak sekali permasalahan yang ditemukan sebagai hambatan perkembangan pendidikan IPS di MTs khususnya. Di antara permasalahan di sini bisa kita sebutkan misalnya persepsi pendidikan IPS di kalangan parasiswa dan orang tua masih kurang positif. Orang tua dan siswanya sendiri masih merasa bangga kalau anak-anaknya bisa menguasai bidang IPA atau Matematika. Pendidikan IPS seolah-olah terpinggirkan. Apalagi setelah adanya kebijakan Ujian nasional yang hanya memberlakuan empat mata pelajaran sebagai materi UN. Posisi Pendidikan IPS di kalangan siswa semakin jauh di bawah posisi yang di UN kan, bahkan akan menganggap remeh terhadap pendidikan IPS.
Di samping persepsi yang kurang, factor guru pun sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan IPS. Selama ini guru Pendidikan IPS masih terjadi mismatch. Kebanyakan guru IPS diampu oleh guru yang berlatar belakang bukan dari Pendidikan IPS. Dari kasus ini maka tentunya akan menghasilkan out put dan out come yang rendah.
Seperti yang dikemukakan Prof. Dr. Said Hamid Hasan, M.A., guru besar Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) UPI Bandung, mensinyalir + 60% guru PIPS di Indonesia tidak berlatar belakang pendidikan IPS. Sinyalemen ini dikemukakannya pada saat Seminar Nasional dan Musyawaroh Daerah I Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) Jawa Barat, di Bandung (31 Oktober 2002).
Menyikapi kendala ini, peran pendidik sangat dibutuhkan dalam rangka membangun kebali “kejayaan” IPS di kalangan parasiswa dan orang tua. Lembaga pendidikan khususnya MTs memiliki beban yang cukup berat dalam mengubah paradigma dan pandangan pemikiran siswa dan orang tua siswa terhadap pendidikan IPS.
Pandangan siswa terhadap popularitas PIPS di persekolahan selama ini kurang baik. Hal ini lebih kentara pada institusi pendidikan setingkat Madrasah Aliyah atau SMA ketika mereka diharuskan memilih jurusan sesuai dengan minat dan bakatnya. Maka, ketika parasiswa memutuskan memilih Jurusan IPS alasan mayoritas dari mereka adalah karena menganggap dirinya kurang cerdas, ingin nyantai, dan berbagai alasan lainnya yang bersifat negative.
Akhirnya Prof. Dr. Said Hamid Hasan, M.A.pun mengatakan lagi bahwa “Atas dasar ini, tidaklah berlebihan kiranya apabila dalam kenyataan hidup di masyarakat, mata pelajaran IPS dalam pandangan orang tua siswa menempati kedudukan "kelas dua" dibandingkan dengan posisi IPA, demikian penegasan Prof. Dr. Nursid Sumaatmadja, dalam momentum seminar yang sama”.
Begitu pula parasiswa jurusan IPS terjadi pencitraan yang negative ketika mereka (guru, orang tua, dan siswa itu sendiri) menganggap bahwa parasiswa yang mengambil jurusan IPS memiliki moralitas yang rendah. Dlam arti mereka identik dengan kenakalan remaja mulai dari pergaulan bebas, narkoba, perkelahian, dsb.
Pencitraan buruk terhadap parasiswa jurusan IPS tumbuh secara paradoksal terhadap pesan yang diemban oleh mata pelajaran IPS. Pendidikan IPS seperti yang dikemukakan oleh Somantri bahwa organisasi pelajaran harus disusun menurut struktur disiplin (ilmunya), baik proses penyusunan syntacticak struktur-nya maupun conceptual strukturny-nya. Tidak ada masalah dalam meramu bahan pelajaran dengan disiplin lainnya. Demikian pula tidak ada masalah untuk menjadikan parasiswa menjadi warganegara yang baik. Walaupun demikian aliran ini aliran ini mengakui pentingnya menunbuhkan cirri warganegara yang baik, karena hal itu akan dating dengan sendirinya setelah parasiswa mempelajari masing-masing disiplin ilmu social tersebut (Somantri, 2001: 260).
Mengkritisi konsep yang dikemukakan Somantri di atas menjadi maslah antara cita-cita luhur pendidikan IPS di atas dengan realitas di lapangan. Hal ini menjadikan semua fihak harus mampu memikirkan dan melakukan aksi untk mengubah pencitraan tersebut. Sepandai mungkin menjadikan popularitas IPS menjadi pilihan prioritas dan mereka memiliki puturisme teerhadap konsekuensi pemilihan jurusan IPS tersebut.

1.2 Permasalahan
Persepsi siswa terhadap perkembangan pendidikan IPS di lembaga pendidikan khususnya Madrasah Tsanawiyah menjadi pukulan bagi guru untuk berupaya terus dalam meningkatkan pencitraan IPS di kalangan parasiswa dan orang tua.
Berbagai permasalahan yang terjadi di kalangan madrasah harus mampu memecahkannya agar tujuan pendidikan IPS bersinergi dengan implementasinya di lapangan. IPS menjadi pilihan utama dan menarik bagi siswa dalam pengkajian lebih mendalam.
Sementara itu, pakar PIPS lainnya (seperti Prof. Nu`man Somantri, M.Sc.Ed, Prof. Dr. Azis Wahab, M.A., dan Prof. Dr. Suwarma Al Muchtar, S.H. M.Pd.) mengungkapkan, bahwa proses pembelajaran IPS di tingkat persekolahan mengandung beberapa kelemahan seperti digambarkan di bawah ini beserta faktor-faktor yang menyebabkannya :
1. Kurang memperhatikan perubahan-perubahan dalam tujuan, fungsi , dan peran PIPS di sekolah Tujuan pembelajaran kurang jelas dan tidak tegas (not purposeful)
2. Posisi, peran, dan hubungan fungsional dengan bidang studi lainnya terabaikan Informasi faktual lebih bertumpu pada buku paket yang out of date dan kurang mendayagunakan sumbr-sumber lainnya
3. Lemahnya transfer informasi konsep ilmu-ilmu sosial Out put PIPS tidak memberi tambahan daya dan tidak pula mengandung kekuatan (not empowering and not powerful)
4. Guru tidak dapat meyakinkan siswa untuk belajar PIPS lebih bergairan dan bersungguh-sungguh Siswa tidak dibelajarkan untuk membangun konseptualisasi yang mandiri
5. Guru lebih mendominasi siswa (teacher centered) Kadar pembelajaran yang rendah, kebutuhan belajar siswa tidak terlayani
6. Belum membiasakan pengalaman nilai-nilai kehidupan demokrasi sosial kemasyarakatan dengan melibatkan siswa dan seluruh komunitas sekolah dalam berbagai aktivitas kelas dan sekolah Dalam pertemuan kelas tidak menggagendakan setting lokal, nasional, dan global, khususnya berkaitan dengan struktur sistem sosial dan perilaku kemasyarakatan
Berdassarkan uraian di atas, maka pada makalah ini dirmuskan permasalahan sebagai berikut
1) Bagaimana paradigma baru pendidikan IPS di Madrasah Tsanawiyah?
2) Bagaimana Pemberdayaan Pendidikan IPS pada Madrasah Tsanawiyah?
3) Bagaimana peran masyarakat dalam membentuk persepsi pendidikan IPS di MTs?

1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah
1) Untuk mengetahui implementasi kurikulum IPS di Madrasah Tsanawiyah sebagai institusi pendidikan berciri khas Islam.
2) Untuk mengetahui paradigma baru pendidikan IPS di Madrasah Tsanawiyah.
3) Untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi implementasi kurikulum pendidikan IPS di Madrasah pada tingkat Tsanawiyah.

1.4 Metode
Metode yang diganakan dalam penulisan makalah ini adalah metode deskritif. Alasannya bahwa metoda deskriptif adalah pembahasan yang ingin menggambarkan dan melukiskan kondisi nyata terhadap paradigma pendidikan IPS di Madrasah Tsanawiyah. Sedangkan teknik pengumpulan data adalah dengan menggunakan teknik studi lapangan dan studi leteratur. Melalui studi literature ini penulis mengadakan pengkajian dan mempelajari tulisan-tulisan yang memiliki relevansi dengan masalah - masalah yang sedang diteliti.

BAB 2
KAJIAN TEORETIS

2.1 Konsep Pendidikan IPS
Pendidikan IPS dilaksanakan pada dasarnya untuk menciptakan pewarisan sistem social dan budaya yang heterogen dan berfungsi menciptakan realitas kehidupan dalm konteks social masyarakat. Somantri( 2001: 133) mengatakan bahwa dalam menanggapi penyusunan bahan pendidikan yang menggunakan inter-, cros-, dan trans disipliner. Ditawarkannya pendekatan ini dimaksudkan agar Pendidikan IPS lebih realistic dalam menghadapi kenyataan social, sehingga materinya lebih berguna bagi peserta didik terutama bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Pernyataan Numan tersebut menunjukkan bahwa Pendidikan IPS pada dasarnya dibentuk dari pendekatan inter-, cros-, dan trans disipliner. Pendekatan ini pada hakikatnya adalah dalam rangka pengkajian secara mendalam masalah-masalah social agar terbentuk jiwa social yang mampu beradaptasi dengan konteks kehidupan itu sendiri.
Selanjutnya dari latar belakang di atas muncul sebuah pemikiran untuk mengembangkan studi social (social study). Melalui pendidikan IPS ini dimaksudkan agar terbentuk pola kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang memahami dan melaksanakan fungsi sosialnya. Pendidikan IPS diharapkan menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari kehidupan masyarakat disekitarnya dan selanjutnya menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Titik berat studi sosial adalah perkembangan individu yang dapat memahami lingkungan sosialnya, serta manusia dengan kegiatannya dan interaksi antar mereka,
Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran “social studies” di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang memiliki pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai bidang itu seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis yang antara lain dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies (NCSS).
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan terjadi pada tahun 1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah “Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial” sebagai mata pelajaran sosial terpadu. Dalam Kurikulum tersebut digunakan istilah Pendidikan Kewargaan negara yang di dalamnya tercakup Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai Pengetahuan Kewargaan Negara.
Dalam Kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil yakni: (1) Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus yang mewadahi tradisi “citizenship transmission”; (2) pendidikan IPS terpadu untuk Sekolah Dasar; (3) pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungi mata palajaran geograft, sejarah, dan ekonomi koperasi; dan (4) pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG.
Bila disimak dari perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni: pertama, pendidikan LPS yang diajarkan dalam tradisi “citizenship transmissio” dalam bantuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan. Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi “social science” dalam bentuk pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP, dan. yang terintegrasi di SD.
Pendidikan IPS adalah penyederhanaan adaptasi, seleksi, dan modifikasi dari disiplin akademis ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis-psikologis untuk tujuan institusional pendidikan dasar dan menengah dalam kerangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila Pendidikan IPS adalah seleksi dari struktur disiplin akademik ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk mewujudkan tujuan pendidikan dalam kerangka pencapaian tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila
Dilihat dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia sampal saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni: Pertama, PIPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan; dan kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang pada dasarnya merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relevan, untuk tujuan pendidikan. profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS.
Pendidikan IPS di dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan dikembangkan sebagai mata pelajaran yang terpadu yang mencakup seluruh aspek pengetahuan IPS geografi, sejarah, sosiologi, antropologi, dan ekonomi, Ahmad Arief mengatakan bahwa pendidikan IPS adalah sebuah program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu. Sehingga baik dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial, maupun ilmu pendidikan tidak akan ditemukan adanya sub-sub disiplin PIPS, yang dalam kepustakaan National Council for Social Studies (NCSS) dan Social Science Education Council (SSEC) disebut "social studies" dan "social science education". Sementara itu, IPS sendiri didefinisikan sebagai
... the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. (NCSS, 2003)
Ini berarti PIPS mencakup kajian terpadu ilmu-ilmu sosial (seperti : antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama, dan sosiologi) serta diperluas dengan materi humaniora, matematika, dan ilmu-ilmu alam. Selanjutnya, tujuan PIPS adalah
"to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world" (NCSS, 2003).
Sedangkan Forum Komunikasi II HISPIPSI (1991) di Yogyakarta telah mendefinisikan PIPS sebagai penyederhanaan atau adapatasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan PIPS yang diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia pada prinsipnya identik dengan studi sosial (social studies) yang diajarkan di sekolah-sekolah di luar negeri, terutama di Amerika Serikat, tetapi isinya (content) disesuaikan dengan kondisi Indonesia (Sanusi, 1998; Somantri, 2001).
Berkenaan dengan PIPS yang diajarkan di level pendidikan dasar, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994) menerangkan bahwa PIPS adalah mata pelajaran yang mempelejari kehidupan sosial yang didasarkan pada bahan kajian pokok geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, tata negara, dan sejarah PIPS yang diajarkan di tingkat pendidikan dasar terdiri atas dua bahan kajian pokok : ilmu pengetahuan sosial dan sejarah; bahan kajian sejarah meliputi perkembangan bangsa Indonesia sejak masa lampau hingga masa kini; sedangkan bahan kajian ilmu pengetahuan sosial mencakup lingkungan sosial, ilmu bumi, ekonomi, dan pemerintahan. Sementara untuk jenjang pendidikan menengah, menurut Depdikbud (1994), PIPS dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa melanjutkan dengan ilmu-ilmu sosial, baik dalam bidang akademik maupun pendidikan professional. Selain daripada itu, siswa juga diberikan bekal kemampuan, secara langsung atau tidak langsung, untuk bekerja di masyarakat. Dengan demikian untuk jenjang pendidikan menengah, dikenal mata pelajaran antropologi, sosiologi, geografi, sejarah, ekonomi, tata negara-yang keseluruhannya mengacu kepada social sciences (ilmu-ilmu sosial).

2.2 Tujuan Pendidikan IPS
Semua factor dan unsure-unsur yang terkandung dlam pendidikan IPS bermuara pada tujuan. Penetapan landasan filosofis, akademik, dan edukatif serta pengebangan teori dan konsep akan tergantung dari tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan dari pengembangan pendidikan IPS meliputi pengembangan intelektual, kemampuan individual serta perannya dalam masyarakat. Hal tersebut pada akhirnya akan dibangun melalui suatu pondasi pendidikan IPS yang dirancang oleh keterkaitan yang signifikan antara teori dan konsep serta landasan filosofis, akademik, dan edukatif dengan tujuannya (Supriatna dkk, 2007:1-2).
PIPS yang diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia pada prinsipnya identik dengan studi sosial (social studies) yang diajarkan di sekolah-sekolah di luar negeri, terutama di Amerika Serikat, tetapi isinya (content) disesuaikan dengan kondisi Indonesia (Sanusi, 1998; Somantri, 2001).
Tujuan PIPS adalah mendidik para siswa menjadi ahli ekonomi, politik, hokum, sosiologi dan pengetahuan social lainnya. Menurut faham ini, kurikulum pengajaran IPS harus diaorganisasikan secara terisah-pisah sesuai dengan body of knowledge masing-masing disiplin ilmu social tersebut (Smonatri, 2001: 260).
Pendapat kedua mengatakan bahwa tujuan pengajaran IPS di sekolah ialah untuk menumbuhkan warga Negara yang baik. Pengajaran di sekolah harus merupakan “aunified coordinated holistic study of men living in societies” (Hanna, 1962: 63 dalam Somantri, 2001:260)
Pendapat ketiga tentang tujuan PIPS adalah gabungan antara pendapat pertama dengan pendapat kedua, yakni mendidik parasiswa menjadi ahli ekonomi, politik, hokum, sosiologi dan pengetahuan social lainnya serta untuk menumbuhkan warga Negara yang baik. Kedua gabungan tujuan ini akan menunjukkan bahwa tujuan pendidikan IPS berlangsung secara menyeluruh dan holistic.
Berbeda dengan pandapat keempat, bahnwa tujuan pendidikan IPS adlah dimaksudkan untuk mempelajari bahan pelajaran yang sifatnya “tertutup” (closed area), maksudnya adalah bahwa dengan mempelajari bahan pelajaran yang pantang (tabu) untuk dbicarakan, para siswa akan memperoleh kesempatan untuk memecahkan konflik interpersonal maupun antar personal. Bahan pelajaran IPS yang tabu tersebut dapat timbul dari bidang ekonomi, politik, sejarah, sosiologi, dan ilmu-ilmu social lainnya (Somantri, 2001: 261).
Akhir dari tujuan pendidikn IPS tentunya harus pula bermuara dan bersinergi dengan tujuan Pendidikan Nasional. Cita-cita luhur Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945. Seperti yang tercantum pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

2.2 Muatan Kurikulum Pendidikan IPS
Salah satu pegangan dalam pengembangan kurikulum ialah prinsip-prinsif yang dikemukakan oleh Ralp Tyler (dalam Nasution,1989: 6). Ia mengemukakan kurikulum ditentukan oleh empat factor atau asas utama, yaitu
(1) Falsafah bangsa, masyarakat, sekolah dan guru-guru (aspek filosofis)
(2) Harapan dan kebutuhan masyarakat (orang tua, kebudayaan masyarakat, pemerintah, agama, ekonomi, dsb) (aspek sosiologis).
(3) Hakikat anak antara lain taraf perkembangan fisik, mental, psikologis, emosional, social, serta cara anak belajar (aspek psikologis).
(4) Hakikat pengetahuan atau disiplin ilm (bahan pelajaran). (Somantri, Muhammad Numan, 2001)
Kurikulum dan pembelajaran IPS di MTs/SMP mengacu pada landasan filsafat yang dianut dalam system persekolahan. Selama ini tidak ada landasan filosofis yang tunggal yang dirujuk dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum pendidikan IPS dalam system persekolahan kita (Hasan, 2007 dalam Supriatna dkk, 2007: 1).
Berkenaan dengan PIPS yang diajarkan di level pendidikan dasar, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994) menerangkan bahwa PIPS adalah mata pelajaran yang mempelejari kehidupan sosial yang didasarkan pada bahan kajian pokok geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, tata negara, dan sejarah
PIPS yang diajarkan di tingkat pendidikan dasar terdiri atas dua bahan kajian pokok : ilmu pengetahuan sosial dan sejarah; bahan kajian sejarah meliputi perkembangan bangsa Indonesia sejak masa lampau hingga masa kini; sedangkan bahan kajian ilmu pengetahuan sosial mencakup lingkungan sosial, ilmu bumi, ekonomi, dan pemerintahan.
Sementara untuk jenjang pendidikan menengah, menurut Depdikbud (1994), PIPS dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa melanjutkan dengan ilmu-ilmu sosial, baik dalam bidang akademik maupun pendidikan professional. Selain daripada itu, siswa juga diberikan bekal kemampuan, secara langsung atau tidak langsung, untuk bekerja di masyarakat. Dengan demikian untuk jenjang pendidikan menengah, dikenal mata pelajaran antropologi, sosiologi, geografi, sejarah, ekonomi, tata negara-yang keseluruhannya mengacu kepada social sciences (ilmu-ilmu sosial).
Dalam wacana kurikulum sistem Pendidikan di Indonesia terdapat tiga jenis program pendidikan sosial, yakin: program (pendidikan) ilmu-ilmu sosial (IIS) yang dibina pada fakultas-fakultas sosial murni; disiplin ilmu pengetahuan sosial (PDPIS) yang dibina pada fakultas-fakultas pendidikan ilmu sosial: dan pendidikan ilmu pengetahuan sosial (PIPS) yang diberikan terutama di dalam pendidikan persekolahan
Dalam Kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil yakni: (1) Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus yang mewadahi tradisi “citizenship transmission”; (2) pendidikan IPS terpadu untuk Sekolah Dasar; (3) pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungi mata palajaran geograft, sejarah, dan ekonomi koperasi; dan (4) pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG.
Bila disimak dari perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni: pertama, pendidikan LPS yang diajarkan dalam tradisi “citizenship transmissio” dalam bantuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan. Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi “social science” dalam bentuk pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP, dan. yang terintegrasi di SD.
Dilihat dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia sampal saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni: Pertama, PIPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan; dan kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang pada dasarnya merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relevan, untuk tujuan pendidikan. profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS.
Menengok Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).Dari berbagai dokumen yang dirilis dan disosialisasikan oleh Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, akan tampak sebaran mata pelajaran PIPS di dalam struktur kurikulum di berbagai jenjang pendidikan,
Jenjang Pendidikan Mata Pelajaran PIPS diberikan di Kelas Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah adalah
1. Kewarganegaraan
2. Pengetahuan Sosial
Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah mulai dari elas VII, VIII, dan IX mencakup pembelajaran
1. Kewarganegaraan
2. Pengetahuan Sosial VII, VIII, dan IX
Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah Pendidikan IPS mencakup kelas X, kelas XI dan XII khusus penjurusan IPS
a. Pengkhususan Program Studi
• Program Studi Ilmu Alam
• Program Studi Ilmu Sosial
• Program Studi Bahasa
b. Non-Pengkhususan Program Studi
• Program Bersama
• Program Pilihan
Dari gambaran di atas terlihat, semakin meneguhkan menguatnya tradisi dan konsep pemikiran para ahli ilmu-ilmu sosial (semenjak kurikulum PIPS 1975 hingga KBK), sehingga kurang adaptif dengan inovasi hasil pemikiran para ahli PIPS. Hal ini berdampak pada model pengembangan kurikulum yang digunakan serta arah implementasinya.
Model pengembangan KBK, secara teoritik, untuk menyempurnakan model kurikulum sebelumnya yang banyak menggunakan pendekatan sistem instruksional yang selama ini dinilai kurang tepat dengan tuntutan peningkatan mutu.
Beberapa Implikasi Kurikulum yang berbasis kompetensi (KBK) akan berhasil meningkatkan mutu pembelajaran PIPS di Indonesia apabila diikuti dengan pengembangan berbagai model pembelajaran yang selama ini sering terabaikan. Intinya : KBK PIPS perlu dilengkapi dengan
Pembelajaran Berbasis Kompetensi (PBK) PIPS.
Karena pendekatan kompetensi dalam pengembangan kurikulum memiliki potensi untuk lebih dekat dengan "materi subyek" daripada "materi pedagogis", dengan demikian PIPS lebih akrab dengan pola pikir ilmuwan sosial daripada kepentingan dan kebutuhan serta kapasitas perkembangan berpikir sosial peserta didik.
Untuk itu, pengembangan model pengintegrasian isi pelajaran dengan pedagogis dipandang tepat untuk memfungsionalkan materi pelajaran bagi pengembangan potensi pembelajaran, sekaligus untuk memberikan keseimbangan antara pendekatan proses dan pendekatan tujuan.


BAB 3
PEMBAHASAN

3.1. Paradigma Baru Pendidikan IPS Di Madrasah Tsanawiyah
Sudah seharusnya pola pembelajaran pendidian IPS di ubah. Guru sebagai garda terdepan memiliki kesempatan luas untuk membuka carawala dan khazanah penguasaan pendekatan dan metode untuk mengubah pembelajaran IPS. Pembaharuan proses pendidikan IPS ini pada dasarnya untuk membentuk manusia yang tercipta sebagai makhluk social yang hakiki.
Manusia sebagai makhluk sosial perlu memahami dan melaksanakan fungsi sosialnya. Pendidikan IPS diharapkan menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari kehidupan masyarakat disekitarnya dan selanjutnya menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Titik berat studi sosial adalah perkembangan individu yang dapat memahami lingkungan sosialnya, serta manusia dengan kegiatannya dan interaksi antar mereka, dan anak didik agar menjadi anggota yang produktif dan dapat memberikan andilnya dalam masyarakat yang merdeka, mempunyai rasa tanggung jawab, tolong menolong sesamanya dan dapat mengembangkan nilai-nilai dan cita-cita masyarakat.
Pendidikan IPS diarahkan agar peserta mengamati dan mengalami dalam hidup bermasyarakat sehinggan membantu peserta untuk memahami lebih mendalam kehidupan masyarakat sekitarnya. IPS diperlukan untuk memecahkan masalah/problema sosial yang teridentifikasi dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping memecahkan masalah sosial pendidikan IPS juga dimaksudkan untuk mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep dan ngeneralisasi yang berkaitan dengan IPS. Pendidikan IPS mensyaratkan mata kuliah Konsep Dasar IPS, hal ini dimaksudkan peserta sudah memahami konsep dasar IPS . Pendidikan IPS merupakan integrasi dari rumpun sosial dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dari ilmu-imu sosial. Materi IPS di sekolah lebih menitik beratkan materi sosiologi, ekonomi, geografi dan sejarah, walaupun demikian dalam batas batas tertentu tetap mengkaitkan dengan ilmu yang lain.
Kurikulum 2006 Mata Pelajaran IPS di jenjang MTs secara legal formal ditetapkan dengan menggunakan model pembelajaran IPS Terpadu. Pengertian terpadu bukan semata-mata sudah tidak muncul lagi Sub Mata Pelajaran Sejarah, Geografi dan Ekonomi, namun program pembelajarannya harus disusun dari berbagai cabang ilmu dalam rumpun sosial dengan memadukan kompetansi dasar yang ada.
Permasalahan yang muncul adalah Kompetensai Dasar (KD) dalam Kurikulum Mata Pelajaran IPS belum terstruktur secara terpadu. Walaupun Sub Mata Pelajaran sudah tidak dikenal lagi, namun KD-KD dalam standar isi tersebut masih menunjukkan secara eksplisit substansi dari masing-masing sub mata pelajaran. Dampaknya dalam mengajar guru cenderung mengikuti kurikulum berdasarkan urutan yang ada. Bahkan masih sering ditemukan guru yang mengajar IPS Ekonomi, IPS Sejarah atau IPS Geografi secara terpisah-pisah.
Model IPS Terpadu ada tiga model pembelajaran IPS terpadu. Pertama, model integrasi berdasarkan topik. Caranya dengan memilih atau menetapkan topik tertentu, dan topik tersebut ditinjau dari berbagai disiplin ilmu yang tercakup dalam IPS, misalnya topik flu burung. Persebaran wabah flu burung dan karakteristik fisis-geografis daerah terjangkit dikaji melalui disiplin Ilmu Geografi, dampaknya terhadap kegiatan perekonomian masyarakat ditinjau dengan disiplin Ilmu Ekonomi. Analisis proses awal masuknya flu burung di Indonesia dapat dikaji dengan disiplin Ilmu Sejarah, sedangkan bagaimana reaksi masyarakat yang mengahadapi wabah flu burung dan bagaimana partisipasi yang diberikan dalam upaya penanggulangannya dapat dikaji dengan disiplin Ilmu Sosiologi.
Kedua, model integrasi berdasarkan potensi utama. Dipilih tema yang didasarkan pada potensi utama yang ada di wilayah setempat. Misalnya Ungaran sebagai kawasan industri. Faktor alam apa yang menunjang pengembangan industri di Ungaran dianalisis dengan disiplin Ilmu Geografi. Bagaimana dukungan/kebijakan pemerintah daerah dikaji dengan Ilmu Politik, seberapa besar ketersediaan tenaga kerja dan efek perekonomian yang muncul dilihat dengan kacamata Ekonomi. Sedangkan bagaimana kemungkinan dampaknya terhadap kehidupan sosial-budaya dianalisis dengan disiplin Ilmu Sosiologi-Antropologi.
Ketiga, model integrasi berdasarkan masalah. Banyak sekali dijumpai permasalahan lingkungan dan sosial di sekitar anak. Jika permasalahan tersebut diangkat menjadi tema dalam pembelajaran di kelas sangat menarik dan meningkatkan kepedulian siswa terhadap masalah tersebut, misalnya pornografi. Apa faktor sosial-budaya yang mendorong maraknya pornografi tentu dapat dikaji dengan bantuan disiplin Ilmu Sosiologi-Antropologi. Sampai di mana saja persebaran masalah tersebut, kapan masalah tersebut mulai muncul dan bagaimana perkembangannya, apa dampaknya terhadap kehidupan sosial dan ekonomi, dan apa kebijakan yang telah dilakukan pemerintah ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan menggunakan disiplin ilmu sosial yang sesuai.
Pembelajaran IPS Terpadu merupakan gabungan dari berbagai disiplin ilmu sosial. Di sekolah, guru yang tersedia umumnya merupakan guru dengan disiplin ilmu yang terpisah-pisah. Hal ini tentunya mengundang masalah bagi guru untuk beradaptasi dalam pengintegrasian disiplin ilmu sosial tersebut. Solusi yang dapat diberikan adalah mengajar dengan Team Teaching yaitu dua-tiga orang guru mengajar secara bersama-sama di dalam kelas. Setiap guru memiliki tugas sesuai dengan keahlian dan kesepakatan team.
Pembelajaran IPS Terpadu bagi siswa memberikan peluang untuk pengembangan kreativitasnya. Model ini menekankan pada pengembangan kemampuan analitik, asosiatif serta eksploratif dan elaboratif. Dengan mengupas permasalahan sosial yang ada di lingkungan siswa akan mempermudah dan memotivasi untuk mengenal, menerima, menyerap dan memahami keterkaitan konsep, pengetahuan, nilai atau tindakan yang dikehendaki oleh kurikulum.
Pardigma Sosial Studi
Dalam IPS Terpadu tersurat adanya perubahan paradigma dari Ilmu Sosial (Social Sciences) menjadi Studi Sosial (Social Study). Ilmu-ilmu Sosial (Sosiologi, Antropogi, Ekonomi, Politik, dll) lebih menekankan konsep dan teori yang abstrak dan rumit sehingga kemampuan anak di jenjang pendidikan dasar (SMP) belum cukup untuk menyerap dan memahaminya. Sedangkan studi sosial merupakan bidang pelajaran mengenai kehidupan manusia dalam masyarakat. Studi sosial lebih bersifat praktis, tidak menyajikan materi yang terlalu abstrak dan teoritis tetapi lebih bersifat terapan. Studi sosial lebih menitikberatkan pada bahan-bahan pelajaran yang langsung menyangkut kepentingan siswa dalam rangka proses belajar mengajar guna mencapai tujuan-tujuan pendidikan
Guru harus bisa mengikuti perubahan paradigma ini, sebab perubahan ini memberikan ruang untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengajar. Guru tidak harus tunduk pada urutan KD dalam kurikulum. Ia dapat menetapkan topik atau permasalahan tertentu dan mengambil KD-KD yang dibutuhkan untuk disajikan di dalam pendekatan pembelajaran kooperatif. Guru dapat mengambil topik permasalahan yang sedang aktual misalnya naiknya harga-harga, golput, sampah, pornografi dan sebagainya. Upaya yang harus dilakukan guru IPS memang tidak mudah. Tetapi percayalah, hal ini bukan disebabkan oleh kurangnya kemampuan guru, melainkan karena masih ragu mencoba dan belum terbiasa melakukannya.



3.2 Pemberdayaan Pendidikan IPS pada Madrasah Tsanawiyah
Menyadari pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai luhur Agama Islam sebagai keyakinan hidup, maka eksistensi lembaga pendidikan yang bernuansa Islami semakin didambakan semua orang tua. Mengingat dewasa ini Indonesia sedang mengalami kelunturan nilai dan budi pekerti akibat dari terkikisnya oleh system globalisasi yang nyaris tak terbendung ini.
Senada dengan ini Rusyan ( 2001: 7) mengatakan bahwa budi pekerti merupakan factor utama dalam kesinambungan hubungan dalam kehidupan, maka derajat kita tergantung pada budi pekertinya. Kekayaan yang melimpah bagi kita tanpa dibarengi budi pekerti yang baik akan hilang maknanya dan bukan kebaikan yang akan terwujud, tetapi kejahatan, kekejaman, dan kebengisan terhadap yang lemah (seperti penculikan, pemerkosaan HAM, dan sebagainya).
Kepandaian seseorang tidak ada artinya kalau tidak dibarengi oleh kehalusan jiwa dan ketebalan keyakinan kepada Allah SWT. Selama ini sulit sekali menemukan seseorang yang memiliki kekuatan yang seimbang antar intelegensi (kepintaran) dengan keluhuran budi pekerti karena memiliki kekuatan yang dalam terhadap penguasaan pengetahuan agama dan keimanan yang kokoh.
Madrasah Tsanawiyah adalah suatu institusi pendidikan yang akan menyiapkan semua cita-cita itu. MTs hadir sebagai lembaga yang di dalamnya memuat kurikulum yang sempurna dan seimbang antara pengetahuan agama dengan pengetahuan umum.
MTs sebenarnya lembaga pendidikan yang setingkat dengan Sekolah menengah Pertama (SMP). MTs berada di bawah naungan Departemen Agama yang pengurusannya diserahkan kepada bagian Direktorat Jendral Bimbingan masyarakat Islam(Dirjen Bimas Islam) yang membawahi Direktorat Pendidikan Agama Islam (Depag, 2004: 48) selanjutnya pengurusan untuk tingkat provnsi diserahkan kepada bidang Pendidikan Agama Islam (Mapenda) Kantor Wilayah Depag Provonsi dan pada tingkat Kantor Wilayah Departemen Agama Kabupaten diserahkan kepada bidang Pendidikan Agama Islam (Mapenda) Kantor Departemen Agama Kabupaten (Depag, 2004: 54).
Kurikulum yang digunakan pada MTs merupakan integrasi antara kurikulum Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, dan Pesantren. Kemudian dielaborasi sehingga terbentuk kurikulum yang komprehensif dan unggul dalam segala bidang.



3.3 Peran Serta masyarakat
Mutakin (2008:141) mengatakan bahwa hanya perubahan itu sendiri yang tidak pernh berubah, namun apa yang disebut masyarakat dengan berbagai bentuk satuan sosialnya, dengan berbagai unsure dan aspeknya, dengan berbagai fenomenanya baik fisik material maupun social-spiritualnya, semuanya itu senantiasa mengalami proses perubahan, semuanya mengalami suatu dinamika. Spesifikasi perubahan social itu akan meliputi segala sesuatu yang berkenaan dengan 1) nilai-nilai dan norma-norma sosial, 2) organisasi social, kelembagaan social, kekuasaan dan wewenang, interaksi social dan sejenisnya,
Transformasi masyarakat seperti yang dikemukakan Mutakin di atas memberikan landasan kepada kita bahwa masyarakat senantiasa berubah baik pada pola hidup maupun orientasi hidupnya. Selama ini ketika kita sedang mengalami krisis multidimensional termasuk di dalamnya sedang mengalami krisis moral, maka masyarakt secara alami mulai berpikir cara-cara menanggulangi berbagai krisis itu.
Pendidikan IPS sebagaimana kita ketahui memiliki tujuan yang sangat luhur, yakni dalam rangka membentuk pribadi yang mampu berinteraksi social, memiliki keterampilan social, memiliki keluasan pemahaman tentang pengetahuan social, dsb yang nanti harus dielaborasi dengan pengetahuan agama Islam sehingga dalam hidup dan kehidupannya berkembang secara seimbang dan selaras dengan tuntunan tugas hidup sebagai mahkluk yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.

3.4 Factor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kurikulum Pendidikan IPS di Madrasah pada Tingkat Tsanawiyah
Pendidikan IPS di MTS sebagai lembaga yang berciri khas Islam diimplementasikan sebagai pendidikan kolaborasi antara pendidikan social dengan pendidikan ke-Islam-an. Pesan-pesan moral agama dan nilai-nilai budaya keislaman harus mampu dielaborasi menjadi pendidikan IPS yang integrative dan terpadu sehingga pada akhirnya terbentuk insane sosial yang memiliki utuh sesuai tuntunan nilai-nilai Islam yang terbuktikan dalam kehidupan nyatasehari-hari.
Dalam rangka pembentukan elaborasi pendidikan IPS dengan pendidikan keagamaan harus diupayakan adanya adaptasi pendekatan pendidikan dengan kemajuan zaman yang semakin canggih. Upaya tuntutan ini tentunya pola pendidikan IPS pun harus bersinergi dengan tuntutan reformasi pendidikan kita.
Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi, pendidikan yang mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan guru dan siswa dalam pola-pola pembelajaran IPS.
.Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan , nilai kultural,dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekwensinya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7- 15 tahun (pasal 11 ayat 2). Itulah sebabnya pemerintah(pusat) dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar, miniml pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggungjawab negara yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 34 ayat 2).


BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pendidikan IPS di MTS sebagai lembaga yang berciri khas Islam diimplementasikan sebagai pendidikan kolaborasi antara pendidikan social dengan pendidikan ke-Islam-an. Pesan-pesan moral agama dan nilai-nilai budaya keislaman harus mampu dielaborasi menjadi pendidikan IPS yang integrative dan terpadu sehingga pada akhirnya terbentuk insane sosial yang memiliki utuh sesuai tuntunan nilai-nilai Islam yang terbuktikan dalam kehidupan nyatasehari-hari.
Pendidikan IPS memiliki tujuan yang sangat luhur, yakni dalam rangka membentuk pribadi yang mampu berinteraksi social, memiliki keterampilan social, memiliki keluasan pemahaman tentang pengetahuan social, dsb yang nanti harus dielaborasi dengan pengetahuan agama Islam sehingga dalam hidup dan kehidupannya berkembang secara seimbang dan selaras dengan tuntunan tugas hidup sebagai mahkluk yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
Dalam rangka pembentukan elaborasi pendidikan IPS dengan pendidikan keagamaan harus diupayakan adanya adaptasi pendekatan pendidikan dengan kemajuan zaman yang semakin canggih. Upaya tuntutan ini tentunya pola pendidikan IPS pun harus bersinergi dengan tuntutan reformasi pendidikan kita.
Pendidikan di MTs dibangun guna melaksanakan amanah masyarakat untuk mengantarkan peserta didik pada jenjang kesempurnaan individu yang hakiki. Artinya individu yang selalu siap menghadapi tantangan hidup yang lebih kompleks serta diharapkan memiliki bekal yang luas dalam menghadapi masa depan yang langgeung, yakni akhirat kelak.



4.2 Saran-saran
Saran – saran yang ingin disampaikan berkaitan dengan pembaharuan paradigama pendidikan IPS di MTs adalah sebagai berikut:
1) Pemerintah hendaknya lebih banyak memberikan kesempatan kepada institusi MTs untuk mengembangkan kurikulum pendidikan IPS dengan mengkolaborasikan antara pendidikan keagamaan dengan konsep-konsep social studies.
2) Guru harus mampu mengimbangi perkembangan pendidikan yang semakin berkembang seiring dengan semakin tingginya tuntutan masyarakat yang haus akan kemajuan sebuah pendidikan.
3) Filterisasi budaya barat dalam rangka mencegah penyimpangan perilaku social pad anak didik harus terbentuk melalui pendidikan di MTs.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. (2004). Membiasakan Tradisi Agama (Arah Baru Pengembangan PAI Pada Sekolah Umum. Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam.
Departemen Agama RI. (2004). Struktur Departemen Agama RI. Jakarta: Biro Kepegawaian Sekretariat Jendral.
Iskandar, Dadang dkk. (2009). Pengembangan profesi Guru. bandung: Universitas Pasundan.
Mutakin, Awan. (2008). Individu, Masyarakat dan perubahan Sosial. Bandung: FAkultas PIPS UPI Bandung.
Nasution. (1989). Kurikulum dan Pengajaran. bandung: Bumi Aksara.
Rusyan, A. Tabrani. (2002). Pendidikan Budi Pekerti. Jakarta: Inti Media.
Rusyan, A. Tabrani. (1993). Proses Belajar mengajar yang Efektif Tingkat Pendidikan Dasar. Bandung: Bida Budaya.
Somantri, Muhammad Numan. (2001). Mengagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: PT Rosda Karya.
Supriatna, Nana dkk. (2007). Bahan Ajar Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Usman, Uzer. (1991). Menjadi Guru Profesional. bandung: PT Rosda Karya.


Sumber dari Internet
sriyandi.wordpress.com/.../paradigma-baru-pendidikan-ips/di askses pada tanggal 23 Februari jam 20.00 WIB
pips-sd.blogspot.com/2008_09_01_archive.htmlpips- di askses pada tanggal 23 Februari jam 20.00 WIB

Paradigma Baru Pendidikan IPS di MTs

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Semua negara di dunia sepakat bahwa dalam rangka peningkatan kualitas manusia harus bersumber dari pendidikan. Pendidikan menyumbang sangat besar terhadap mutu hidup manusia. Tentunya pendidikan yang bagaimana yang mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup manusia itu? Jawabannya adalah pendidikan yang berkualitas.
Diyakini bahwa pendidikan selain memberikan amunisi memasuki masa depan, ia juga memiliki hubungan dialektikal dengan transformasi social masyarakat (Departemen Agama, 2004:1). Pola pendidikan MTs di desain untuk transformasi system pengetahuan dan teknologi serta pengembangan dan pelestraian sosio-kultur masyarakat melalui pendidikan IPS.
Kerangka pemikiran di atas memberikan pengertian bahwa pendidikan di MTs dibangun guna melaksanakan amanah masyarakat untuk mengantarkan peserta didik pada jenjang kesempurnaan individu yang hakiki. Artinya individu yang selalu siap menghadapi tantangan hidup yang lebih kompleks serta diharapkan memiliki bekal yang luas dalam menghadapi masa depan yang langgeung, yakni akhirat kelak. Senada dengan ini dikemkakan Somantri ( 2001: 180) mengatakan bahwa aktualisasi pendidikan IPS ini akan lebih banyak menekankan langkah straegis jangka panjang yang aka melewati proses pendidikan yang cukup panjang dalam “laboratorium demokrasi” sebagai investasi sumber daya manusia (human investmen) agar mutu generasi muda semakin meningkat dalam upaya demokratisasi untuk memnghapai masa mendatang yang akan penuh dengan masalah dan tantangan.


Pendidikan yang berkualitas sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya guru, siswa, sarana dan prasarana, lingkungan pendidikan dan kurikulum (Widoyoko, 2008). Faktor guru memegang peranan yang sangat penting karena guru merupakan garda paling depan yang secara langsung berhadapan dengan subjek didik. Subjek didik inilah yang menjadi fokus penentu berhasil tidaknya proses pendidikan. Maka dengan itu guru harus benar-benar menguasai berbagai kompetensi agar mutu lulusan dapat bersaing nanti setelah terjun di lingkungan masyarakat yang majemuk. Hal ini karena kita menyadari bahwa subjek didik (siswa) merupakan investasi terbesar bagi bangsa ini dalam menentukan nasib bangsa ke depan
lingkungan pendidikan dan kurikulum pada suatu institusi berperan sebagai pengendali maju mundurnya suatu lembaga pendidikan. lingkungan pendidikan dan kurikulum merupakan proyeksi dari dan untuk masyarakat. Sekolah sebagai pusat pendidikan formal adalah seperangat masyarakat yang diserahi kewajiban mengejawatahkan pendidikan.
Madrasah Tsanawiyah adalah institusi pendidikan setingkat SMP yang berada di bawah naungan Departemen Agama. Orang sering mengatakan MTs merupakan sekolah yang berciri khas agama Islam. Lembaga pendidikan ini belum dikenal orang secara luas, seperti halnya SMP, namun jika di kaji lebih mendalam tentang lembaga ini ternyata memiliki keunggulan dan kelebihan di bandingkan dengan lembaga-lembaga setingkatnya. Muatan kurikulum pada Madrasah tsanawiyah didesain dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional juga dalam rangka membentuk pribadi yang berakhlakul karimah. Kurikulum yang diterapkan di MTs merupakan hasil integrasi dan modifikasi dari kurikulum Depag, Depdiknas, dan Pesantren. Kurukulum ini diorientasikan untuk memberikan landasan kepribadian, keilmuan dan keterampilan bagi anak didik untuk pengembangan lebih lanjut pada jenjang-jenjang pendidikan berikutnya.
Di dalam muatan kurikulum terdapat mata pelajaran PAI, Umum, dan Muatan Lokal. Di dalam implementasi kurikulum mata pelajaran umum di dalamnya terdapat Pendidikan Ilmu pengetahuan Sosial (IPS). IPS pada tingkat MTs diadaptasi sebagai mata pelajaran yang terdiri dari unsure Geografi, Sosiologi, Ekonomi, dan Sejarah. Pada kurikulum 2006 (KTSP) IPS termasuk IPS terpadu yang terintegratif dari unsure-unsur yang telah disebutkan tadi.
Pentingnya pendidikan IPS di MTs adalah dalam rangka membimbing peserta didik untuk memperoleh keterampilan social dan pengembangan aplikasi demokrasi dalam praktik kehidupan dirnya sebagai interaksi dengan lingkungan masyarakat, bangsa, dan negaranya. Somantri ( 2001: 180) mengatakan bahwa walaupun aktualisasi Pendidikan IPS dalam upaya demokratisasi akan menekankan pada aspek akademiknya, tetapi unsure partisipasi dan masalah social dalam masyarakat akan memperkaya proses laboratorium demokrasi Pendidikan IPS agar dialog kreatif bisa berkembang dan bisa mengurasngi dialog imperative yang hingga sekarang masih sulit dibah dalam kehidupan masyarakat, bahkan juga dalam kehidupan akademik.
Namun dari semua uraian di atas terkait implementasi pendidikan Ilmu pengetahuan Sosial sungguh sangat memprihatinkan. Banyak sekali permasalahan yang ditemukan sebagai hambatan perkembangan pendidikan IPS di MTs khususnya. Di antara permasalahan di sini bisa kita sebutkan misalnya persepsi pendidikan IPS di kalangan parasiswa dan orang tua masih kurang positif. Orang tua dan siswanya sendiri masih merasa bangga kalau anak-anaknya bisa menguasai bidang IPA atau Matematika. Pendidikan IPS seolah-olah terpinggirkan. Apalagi setelah adanya kebijakan Ujian nasional yang hanya memberlakuan empat mata pelajaran sebagai materi UN. Posisi Pendidikan IPS di kalangan siswa semakin jauh di bawah posisi yang di UN kan, bahkan akan menganggap remeh terhadap pendidikan IPS.
Di samping persepsi yang kurang, factor guru pun sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan IPS. Selama ini guru Pendidikan IPS masih terjadi mismatch. Kebanyakan guru IPS diampu oleh guru yang berlatar belakang bukan dari Pendidikan IPS. Dari kasus ini maka tentunya akan menghasilkan out put dan out come yang rendah.
Seperti yang dikemukakan Prof. Dr. Said Hamid Hasan, M.A., guru besar Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) UPI Bandung, mensinyalir + 60% guru PIPS di Indonesia tidak berlatar belakang pendidikan IPS. Sinyalemen ini dikemukakannya pada saat Seminar Nasional dan Musyawaroh Daerah I Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) Jawa Barat, di Bandung (31 Oktober 2002).
Menyikapi kendala ini, peran pendidik sangat dibutuhkan dalam rangka membangun kebali “kejayaan” IPS di kalangan parasiswa dan orang tua. Lembaga pendidikan khususnya MTs memiliki beban yang cukup berat dalam mengubah paradigma dan pandangan pemikiran siswa dan orang tua siswa terhadap pendidikan IPS.
Pandangan siswa terhadap popularitas PIPS di persekolahan selama ini kurang baik. Hal ini lebih kentara pada institusi pendidikan setingkat Madrasah Aliyah atau SMA ketika mereka diharuskan memilih jurusan sesuai dengan minat dan bakatnya. Maka, ketika parasiswa memutuskan memilih Jurusan IPS alasan mayoritas dari mereka adalah karena menganggap dirinya kurang cerdas, ingin nyantai, dan berbagai alasan lainnya yang bersifat negative.
Akhirnya Prof. Dr. Said Hamid Hasan, M.A.pun mengatakan lagi bahwa “Atas dasar ini, tidaklah berlebihan kiranya apabila dalam kenyataan hidup di masyarakat, mata pelajaran IPS dalam pandangan orang tua siswa menempati kedudukan "kelas dua" dibandingkan dengan posisi IPA, demikian penegasan Prof. Dr. Nursid Sumaatmadja, dalam momentum seminar yang sama”.
Begitu pula parasiswa jurusan IPS terjadi pencitraan yang negative ketika mereka (guru, orang tua, dan siswa itu sendiri) menganggap bahwa parasiswa yang mengambil jurusan IPS memiliki moralitas yang rendah. Dlam arti mereka identik dengan kenakalan remaja mulai dari pergaulan bebas, narkoba, perkelahian, dsb.
Pencitraan buruk terhadap parasiswa jurusan IPS tumbuh secara paradoksal terhadap pesan yang diemban oleh mata pelajaran IPS. Pendidikan IPS seperti yang dikemukakan oleh Somantri bahwa organisasi pelajaran harus disusun menurut struktur disiplin (ilmunya), baik proses penyusunan syntacticak struktur-nya maupun conceptual strukturny-nya. Tidak ada masalah dalam meramu bahan pelajaran dengan disiplin lainnya. Demikian pula tidak ada masalah untuk menjadikan parasiswa menjadi warganegara yang baik. Walaupun demikian aliran ini aliran ini mengakui pentingnya menunbuhkan cirri warganegara yang baik, karena hal itu akan dating dengan sendirinya setelah parasiswa mempelajari masing-masing disiplin ilmu social tersebut (Somantri, 2001: 260).
Mengkritisi konsep yang dikemukakan Somantri di atas menjadi maslah antara cita-cita luhur pendidikan IPS di atas dengan realitas di lapangan. Hal ini menjadikan semua fihak harus mampu memikirkan dan melakukan aksi untk mengubah pencitraan tersebut. Sepandai mungkin menjadikan popularitas IPS menjadi pilihan prioritas dan mereka memiliki puturisme teerhadap konsekuensi pemilihan jurusan IPS tersebut.

1.2 Permasalahan
Persepsi siswa terhadap perkembangan pendidikan IPS di lembaga pendidikan khususnya Madrasah Tsanawiyah menjadi pukulan bagi guru untuk berupaya terus dalam meningkatkan pencitraan IPS di kalangan parasiswa dan orang tua.
Berbagai permasalahan yang terjadi di kalangan madrasah harus mampu memecahkannya agar tujuan pendidikan IPS bersinergi dengan implementasinya di lapangan. IPS menjadi pilihan utama dan menarik bagi siswa dalam pengkajian lebih mendalam.
Sementara itu, pakar PIPS lainnya (seperti Prof. Nu`man Somantri, M.Sc.Ed, Prof. Dr. Azis Wahab, M.A., dan Prof. Dr. Suwarma Al Muchtar, S.H. M.Pd.) mengungkapkan, bahwa proses pembelajaran IPS di tingkat persekolahan mengandung beberapa kelemahan seperti digambarkan di bawah ini beserta faktor-faktor yang menyebabkannya :
1. Kurang memperhatikan perubahan-perubahan dalam tujuan, fungsi , dan peran PIPS di sekolah Tujuan pembelajaran kurang jelas dan tidak tegas (not purposeful)
2. Posisi, peran, dan hubungan fungsional dengan bidang studi lainnya terabaikan Informasi faktual lebih bertumpu pada buku paket yang out of date dan kurang mendayagunakan sumbr-sumber lainnya
3. Lemahnya transfer informasi konsep ilmu-ilmu sosial Out put PIPS tidak memberi tambahan daya dan tidak pula mengandung kekuatan (not empowering and not powerful)
4. Guru tidak dapat meyakinkan siswa untuk belajar PIPS lebih bergairan dan bersungguh-sungguh Siswa tidak dibelajarkan untuk membangun konseptualisasi yang mandiri
5. Guru lebih mendominasi siswa (teacher centered) Kadar pembelajaran yang rendah, kebutuhan belajar siswa tidak terlayani
6. Belum membiasakan pengalaman nilai-nilai kehidupan demokrasi sosial kemasyarakatan dengan melibatkan siswa dan seluruh komunitas sekolah dalam berbagai aktivitas kelas dan sekolah Dalam pertemuan kelas tidak menggagendakan setting lokal, nasional, dan global, khususnya berkaitan dengan struktur sistem sosial dan perilaku kemasyarakatan
Berdassarkan uraian di atas, maka pada makalah ini dirmuskan permasalahan sebagai berikut
1) Bagaimana paradigma baru pendidikan IPS di Madrasah Tsanawiyah?
2) Bagaimana Pemberdayaan Pendidikan IPS pada Madrasah Tsanawiyah?
3) Bagaimana peran masyarakat dalam membentuk persepsi pendidikan IPS di MTs?

1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah
1) Untuk mengetahui implementasi kurikulum IPS di Madrasah Tsanawiyah sebagai institusi pendidikan berciri khas Islam.
2) Untuk mengetahui paradigma baru pendidikan IPS di Madrasah Tsanawiyah.
3) Untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi implementasi kurikulum pendidikan IPS di Madrasah pada tingkat Tsanawiyah.

1.4 Metode
Metode yang diganakan dalam penulisan makalah ini adalah metode deskritif. Alasannya bahwa metoda deskriptif adalah pembahasan yang ingin menggambarkan dan melukiskan kondisi nyata terhadap paradigma pendidikan IPS di Madrasah Tsanawiyah. Sedangkan teknik pengumpulan data adalah dengan menggunakan teknik studi lapangan dan studi leteratur. Melalui studi literature ini penulis mengadakan pengkajian dan mempelajari tulisan-tulisan yang memiliki relevansi dengan masalah - masalah yang sedang diteliti.

BAB 2
KAJIAN TEORETIS

2.1 Konsep Pendidikan IPS
Pendidikan IPS dilaksanakan pada dasarnya untuk menciptakan pewarisan sistem social dan budaya yang heterogen dan berfungsi menciptakan realitas kehidupan dalm konteks social masyarakat. Somantri( 2001: 133) mengatakan bahwa dalam menanggapi penyusunan bahan pendidikan yang menggunakan inter-, cros-, dan trans disipliner. Ditawarkannya pendekatan ini dimaksudkan agar Pendidikan IPS lebih realistic dalam menghadapi kenyataan social, sehingga materinya lebih berguna bagi peserta didik terutama bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Pernyataan Numan tersebut menunjukkan bahwa Pendidikan IPS pada dasarnya dibentuk dari pendekatan inter-, cros-, dan trans disipliner. Pendekatan ini pada hakikatnya adalah dalam rangka pengkajian secara mendalam masalah-masalah social agar terbentuk jiwa social yang mampu beradaptasi dengan konteks kehidupan itu sendiri.
Selanjutnya dari latar belakang di atas muncul sebuah pemikiran untuk mengembangkan studi social (social study). Melalui pendidikan IPS ini dimaksudkan agar terbentuk pola kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang memahami dan melaksanakan fungsi sosialnya. Pendidikan IPS diharapkan menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari kehidupan masyarakat disekitarnya dan selanjutnya menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Titik berat studi sosial adalah perkembangan individu yang dapat memahami lingkungan sosialnya, serta manusia dengan kegiatannya dan interaksi antar mereka,
Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran “social studies” di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang memiliki pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai bidang itu seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis yang antara lain dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies (NCSS).
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan terjadi pada tahun 1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah “Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial” sebagai mata pelajaran sosial terpadu. Dalam Kurikulum tersebut digunakan istilah Pendidikan Kewargaan negara yang di dalamnya tercakup Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai Pengetahuan Kewargaan Negara.
Dalam Kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil yakni: (1) Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus yang mewadahi tradisi “citizenship transmission”; (2) pendidikan IPS terpadu untuk Sekolah Dasar; (3) pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungi mata palajaran geograft, sejarah, dan ekonomi koperasi; dan (4) pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG.
Bila disimak dari perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni: pertama, pendidikan LPS yang diajarkan dalam tradisi “citizenship transmissio” dalam bantuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan. Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi “social science” dalam bentuk pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP, dan. yang terintegrasi di SD.
Pendidikan IPS adalah penyederhanaan adaptasi, seleksi, dan modifikasi dari disiplin akademis ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis-psikologis untuk tujuan institusional pendidikan dasar dan menengah dalam kerangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila Pendidikan IPS adalah seleksi dari struktur disiplin akademik ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk mewujudkan tujuan pendidikan dalam kerangka pencapaian tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila
Dilihat dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia sampal saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni: Pertama, PIPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan; dan kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang pada dasarnya merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relevan, untuk tujuan pendidikan. profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS.
Pendidikan IPS di dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan dikembangkan sebagai mata pelajaran yang terpadu yang mencakup seluruh aspek pengetahuan IPS geografi, sejarah, sosiologi, antropologi, dan ekonomi, Ahmad Arief mengatakan bahwa pendidikan IPS adalah sebuah program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu. Sehingga baik dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial, maupun ilmu pendidikan tidak akan ditemukan adanya sub-sub disiplin PIPS, yang dalam kepustakaan National Council for Social Studies (NCSS) dan Social Science Education Council (SSEC) disebut "social studies" dan "social science education". Sementara itu, IPS sendiri didefinisikan sebagai
... the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. (NCSS, 2003)
Ini berarti PIPS mencakup kajian terpadu ilmu-ilmu sosial (seperti : antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama, dan sosiologi) serta diperluas dengan materi humaniora, matematika, dan ilmu-ilmu alam. Selanjutnya, tujuan PIPS adalah
"to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world" (NCSS, 2003).
Sedangkan Forum Komunikasi II HISPIPSI (1991) di Yogyakarta telah mendefinisikan PIPS sebagai penyederhanaan atau adapatasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan PIPS yang diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia pada prinsipnya identik dengan studi sosial (social studies) yang diajarkan di sekolah-sekolah di luar negeri, terutama di Amerika Serikat, tetapi isinya (content) disesuaikan dengan kondisi Indonesia (Sanusi, 1998; Somantri, 2001).
Berkenaan dengan PIPS yang diajarkan di level pendidikan dasar, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994) menerangkan bahwa PIPS adalah mata pelajaran yang mempelejari kehidupan sosial yang didasarkan pada bahan kajian pokok geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, tata negara, dan sejarah PIPS yang diajarkan di tingkat pendidikan dasar terdiri atas dua bahan kajian pokok : ilmu pengetahuan sosial dan sejarah; bahan kajian sejarah meliputi perkembangan bangsa Indonesia sejak masa lampau hingga masa kini; sedangkan bahan kajian ilmu pengetahuan sosial mencakup lingkungan sosial, ilmu bumi, ekonomi, dan pemerintahan. Sementara untuk jenjang pendidikan menengah, menurut Depdikbud (1994), PIPS dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa melanjutkan dengan ilmu-ilmu sosial, baik dalam bidang akademik maupun pendidikan professional. Selain daripada itu, siswa juga diberikan bekal kemampuan, secara langsung atau tidak langsung, untuk bekerja di masyarakat. Dengan demikian untuk jenjang pendidikan menengah, dikenal mata pelajaran antropologi, sosiologi, geografi, sejarah, ekonomi, tata negara-yang keseluruhannya mengacu kepada social sciences (ilmu-ilmu sosial).

2.2 Tujuan Pendidikan IPS
Semua factor dan unsure-unsur yang terkandung dlam pendidikan IPS bermuara pada tujuan. Penetapan landasan filosofis, akademik, dan edukatif serta pengebangan teori dan konsep akan tergantung dari tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan dari pengembangan pendidikan IPS meliputi pengembangan intelektual, kemampuan individual serta perannya dalam masyarakat. Hal tersebut pada akhirnya akan dibangun melalui suatu pondasi pendidikan IPS yang dirancang oleh keterkaitan yang signifikan antara teori dan konsep serta landasan filosofis, akademik, dan edukatif dengan tujuannya (Supriatna dkk, 2007:1-2).
PIPS yang diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia pada prinsipnya identik dengan studi sosial (social studies) yang diajarkan di sekolah-sekolah di luar negeri, terutama di Amerika Serikat, tetapi isinya (content) disesuaikan dengan kondisi Indonesia (Sanusi, 1998; Somantri, 2001).
Tujuan PIPS adalah mendidik para siswa menjadi ahli ekonomi, politik, hokum, sosiologi dan pengetahuan social lainnya. Menurut faham ini, kurikulum pengajaran IPS harus diaorganisasikan secara terisah-pisah sesuai dengan body of knowledge masing-masing disiplin ilmu social tersebut (Smonatri, 2001: 260).
Pendapat kedua mengatakan bahwa tujuan pengajaran IPS di sekolah ialah untuk menumbuhkan warga Negara yang baik. Pengajaran di sekolah harus merupakan “aunified coordinated holistic study of men living in societies” (Hanna, 1962: 63 dalam Somantri, 2001:260)
Pendapat ketiga tentang tujuan PIPS adalah gabungan antara pendapat pertama dengan pendapat kedua, yakni mendidik parasiswa menjadi ahli ekonomi, politik, hokum, sosiologi dan pengetahuan social lainnya serta untuk menumbuhkan warga Negara yang baik. Kedua gabungan tujuan ini akan menunjukkan bahwa tujuan pendidikan IPS berlangsung secara menyeluruh dan holistic.
Berbeda dengan pandapat keempat, bahnwa tujuan pendidikan IPS adlah dimaksudkan untuk mempelajari bahan pelajaran yang sifatnya “tertutup” (closed area), maksudnya adalah bahwa dengan mempelajari bahan pelajaran yang pantang (tabu) untuk dbicarakan, para siswa akan memperoleh kesempatan untuk memecahkan konflik interpersonal maupun antar personal. Bahan pelajaran IPS yang tabu tersebut dapat timbul dari bidang ekonomi, politik, sejarah, sosiologi, dan ilmu-ilmu social lainnya (Somantri, 2001: 261).
Akhir dari tujuan pendidikn IPS tentunya harus pula bermuara dan bersinergi dengan tujuan Pendidikan Nasional. Cita-cita luhur Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945. Seperti yang tercantum pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

2.2 Muatan Kurikulum Pendidikan IPS
Salah satu pegangan dalam pengembangan kurikulum ialah prinsip-prinsif yang dikemukakan oleh Ralp Tyler (dalam Nasution,1989: 6). Ia mengemukakan kurikulum ditentukan oleh empat factor atau asas utama, yaitu
(1) Falsafah bangsa, masyarakat, sekolah dan guru-guru (aspek filosofis)
(2) Harapan dan kebutuhan masyarakat (orang tua, kebudayaan masyarakat, pemerintah, agama, ekonomi, dsb) (aspek sosiologis).
(3) Hakikat anak antara lain taraf perkembangan fisik, mental, psikologis, emosional, social, serta cara anak belajar (aspek psikologis).
(4) Hakikat pengetahuan atau disiplin ilm (bahan pelajaran). (Somantri, Muhammad Numan, 2001)
Kurikulum dan pembelajaran IPS di MTs/SMP mengacu pada landasan filsafat yang dianut dalam system persekolahan. Selama ini tidak ada landasan filosofis yang tunggal yang dirujuk dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum pendidikan IPS dalam system persekolahan kita (Hasan, 2007 dalam Supriatna dkk, 2007: 1).
Berkenaan dengan PIPS yang diajarkan di level pendidikan dasar, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994) menerangkan bahwa PIPS adalah mata pelajaran yang mempelejari kehidupan sosial yang didasarkan pada bahan kajian pokok geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, tata negara, dan sejarah
PIPS yang diajarkan di tingkat pendidikan dasar terdiri atas dua bahan kajian pokok : ilmu pengetahuan sosial dan sejarah; bahan kajian sejarah meliputi perkembangan bangsa Indonesia sejak masa lampau hingga masa kini; sedangkan bahan kajian ilmu pengetahuan sosial mencakup lingkungan sosial, ilmu bumi, ekonomi, dan pemerintahan.
Sementara untuk jenjang pendidikan menengah, menurut Depdikbud (1994), PIPS dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa melanjutkan dengan ilmu-ilmu sosial, baik dalam bidang akademik maupun pendidikan professional. Selain daripada itu, siswa juga diberikan bekal kemampuan, secara langsung atau tidak langsung, untuk bekerja di masyarakat. Dengan demikian untuk jenjang pendidikan menengah, dikenal mata pelajaran antropologi, sosiologi, geografi, sejarah, ekonomi, tata negara-yang keseluruhannya mengacu kepada social sciences (ilmu-ilmu sosial).
Dalam wacana kurikulum sistem Pendidikan di Indonesia terdapat tiga jenis program pendidikan sosial, yakin: program (pendidikan) ilmu-ilmu sosial (IIS) yang dibina pada fakultas-fakultas sosial murni; disiplin ilmu pengetahuan sosial (PDPIS) yang dibina pada fakultas-fakultas pendidikan ilmu sosial: dan pendidikan ilmu pengetahuan sosial (PIPS) yang diberikan terutama di dalam pendidikan persekolahan
Dalam Kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil yakni: (1) Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus yang mewadahi tradisi “citizenship transmission”; (2) pendidikan IPS terpadu untuk Sekolah Dasar; (3) pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungi mata palajaran geograft, sejarah, dan ekonomi koperasi; dan (4) pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG.
Bila disimak dari perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni: pertama, pendidikan LPS yang diajarkan dalam tradisi “citizenship transmissio” dalam bantuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan. Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi “social science” dalam bentuk pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP, dan. yang terintegrasi di SD.
Dilihat dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia sampal saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni: Pertama, PIPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan; dan kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang pada dasarnya merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relevan, untuk tujuan pendidikan. profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS.
Menengok Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).Dari berbagai dokumen yang dirilis dan disosialisasikan oleh Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, akan tampak sebaran mata pelajaran PIPS di dalam struktur kurikulum di berbagai jenjang pendidikan,
Jenjang Pendidikan Mata Pelajaran PIPS diberikan di Kelas Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah adalah
1. Kewarganegaraan
2. Pengetahuan Sosial
Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah mulai dari elas VII, VIII, dan IX mencakup pembelajaran
1. Kewarganegaraan
2. Pengetahuan Sosial VII, VIII, dan IX
Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah Pendidikan IPS mencakup kelas X, kelas XI dan XII khusus penjurusan IPS
a. Pengkhususan Program Studi
• Program Studi Ilmu Alam
• Program Studi Ilmu Sosial
• Program Studi Bahasa
b. Non-Pengkhususan Program Studi
• Program Bersama
• Program Pilihan
Dari gambaran di atas terlihat, semakin meneguhkan menguatnya tradisi dan konsep pemikiran para ahli ilmu-ilmu sosial (semenjak kurikulum PIPS 1975 hingga KBK), sehingga kurang adaptif dengan inovasi hasil pemikiran para ahli PIPS. Hal ini berdampak pada model pengembangan kurikulum yang digunakan serta arah implementasinya.
Model pengembangan KBK, secara teoritik, untuk menyempurnakan model kurikulum sebelumnya yang banyak menggunakan pendekatan sistem instruksional yang selama ini dinilai kurang tepat dengan tuntutan peningkatan mutu.
Beberapa Implikasi Kurikulum yang berbasis kompetensi (KBK) akan berhasil meningkatkan mutu pembelajaran PIPS di Indonesia apabila diikuti dengan pengembangan berbagai model pembelajaran yang selama ini sering terabaikan. Intinya : KBK PIPS perlu dilengkapi dengan
Pembelajaran Berbasis Kompetensi (PBK) PIPS.
Karena pendekatan kompetensi dalam pengembangan kurikulum memiliki potensi untuk lebih dekat dengan "materi subyek" daripada "materi pedagogis", dengan demikian PIPS lebih akrab dengan pola pikir ilmuwan sosial daripada kepentingan dan kebutuhan serta kapasitas perkembangan berpikir sosial peserta didik.
Untuk itu, pengembangan model pengintegrasian isi pelajaran dengan pedagogis dipandang tepat untuk memfungsionalkan materi pelajaran bagi pengembangan potensi pembelajaran, sekaligus untuk memberikan keseimbangan antara pendekatan proses dan pendekatan tujuan.


BAB 3
PEMBAHASAN

3.1. Paradigma Baru Pendidikan IPS Di Madrasah Tsanawiyah
Sudah seharusnya pola pembelajaran pendidian IPS di ubah. Guru sebagai garda terdepan memiliki kesempatan luas untuk membuka carawala dan khazanah penguasaan pendekatan dan metode untuk mengubah pembelajaran IPS. Pembaharuan proses pendidikan IPS ini pada dasarnya untuk membentuk manusia yang tercipta sebagai makhluk social yang hakiki.
Manusia sebagai makhluk sosial perlu memahami dan melaksanakan fungsi sosialnya. Pendidikan IPS diharapkan menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari kehidupan masyarakat disekitarnya dan selanjutnya menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Titik berat studi sosial adalah perkembangan individu yang dapat memahami lingkungan sosialnya, serta manusia dengan kegiatannya dan interaksi antar mereka, dan anak didik agar menjadi anggota yang produktif dan dapat memberikan andilnya dalam masyarakat yang merdeka, mempunyai rasa tanggung jawab, tolong menolong sesamanya dan dapat mengembangkan nilai-nilai dan cita-cita masyarakat.
Pendidikan IPS diarahkan agar peserta mengamati dan mengalami dalam hidup bermasyarakat sehinggan membantu peserta untuk memahami lebih mendalam kehidupan masyarakat sekitarnya. IPS diperlukan untuk memecahkan masalah/problema sosial yang teridentifikasi dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping memecahkan masalah sosial pendidikan IPS juga dimaksudkan untuk mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep dan ngeneralisasi yang berkaitan dengan IPS. Pendidikan IPS mensyaratkan mata kuliah Konsep Dasar IPS, hal ini dimaksudkan peserta sudah memahami konsep dasar IPS . Pendidikan IPS merupakan integrasi dari rumpun sosial dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dari ilmu-imu sosial. Materi IPS di sekolah lebih menitik beratkan materi sosiologi, ekonomi, geografi dan sejarah, walaupun demikian dalam batas batas tertentu tetap mengkaitkan dengan ilmu yang lain.
Kurikulum 2006 Mata Pelajaran IPS di jenjang MTs secara legal formal ditetapkan dengan menggunakan model pembelajaran IPS Terpadu. Pengertian terpadu bukan semata-mata sudah tidak muncul lagi Sub Mata Pelajaran Sejarah, Geografi dan Ekonomi, namun program pembelajarannya harus disusun dari berbagai cabang ilmu dalam rumpun sosial dengan memadukan kompetansi dasar yang ada.
Permasalahan yang muncul adalah Kompetensai Dasar (KD) dalam Kurikulum Mata Pelajaran IPS belum terstruktur secara terpadu. Walaupun Sub Mata Pelajaran sudah tidak dikenal lagi, namun KD-KD dalam standar isi tersebut masih menunjukkan secara eksplisit substansi dari masing-masing sub mata pelajaran. Dampaknya dalam mengajar guru cenderung mengikuti kurikulum berdasarkan urutan yang ada. Bahkan masih sering ditemukan guru yang mengajar IPS Ekonomi, IPS Sejarah atau IPS Geografi secara terpisah-pisah.
Model IPS Terpadu ada tiga model pembelajaran IPS terpadu. Pertama, model integrasi berdasarkan topik. Caranya dengan memilih atau menetapkan topik tertentu, dan topik tersebut ditinjau dari berbagai disiplin ilmu yang tercakup dalam IPS, misalnya topik flu burung. Persebaran wabah flu burung dan karakteristik fisis-geografis daerah terjangkit dikaji melalui disiplin Ilmu Geografi, dampaknya terhadap kegiatan perekonomian masyarakat ditinjau dengan disiplin Ilmu Ekonomi. Analisis proses awal masuknya flu burung di Indonesia dapat dikaji dengan disiplin Ilmu Sejarah, sedangkan bagaimana reaksi masyarakat yang mengahadapi wabah flu burung dan bagaimana partisipasi yang diberikan dalam upaya penanggulangannya dapat dikaji dengan disiplin Ilmu Sosiologi.
Kedua, model integrasi berdasarkan potensi utama. Dipilih tema yang didasarkan pada potensi utama yang ada di wilayah setempat. Misalnya Ungaran sebagai kawasan industri. Faktor alam apa yang menunjang pengembangan industri di Ungaran dianalisis dengan disiplin Ilmu Geografi. Bagaimana dukungan/kebijakan pemerintah daerah dikaji dengan Ilmu Politik, seberapa besar ketersediaan tenaga kerja dan efek perekonomian yang muncul dilihat dengan kacamata Ekonomi. Sedangkan bagaimana kemungkinan dampaknya terhadap kehidupan sosial-budaya dianalisis dengan disiplin Ilmu Sosiologi-Antropologi.
Ketiga, model integrasi berdasarkan masalah. Banyak sekali dijumpai permasalahan lingkungan dan sosial di sekitar anak. Jika permasalahan tersebut diangkat menjadi tema dalam pembelajaran di kelas sangat menarik dan meningkatkan kepedulian siswa terhadap masalah tersebut, misalnya pornografi. Apa faktor sosial-budaya yang mendorong maraknya pornografi tentu dapat dikaji dengan bantuan disiplin Ilmu Sosiologi-Antropologi. Sampai di mana saja persebaran masalah tersebut, kapan masalah tersebut mulai muncul dan bagaimana perkembangannya, apa dampaknya terhadap kehidupan sosial dan ekonomi, dan apa kebijakan yang telah dilakukan pemerintah ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan menggunakan disiplin ilmu sosial yang sesuai.
Pembelajaran IPS Terpadu merupakan gabungan dari berbagai disiplin ilmu sosial. Di sekolah, guru yang tersedia umumnya merupakan guru dengan disiplin ilmu yang terpisah-pisah. Hal ini tentunya mengundang masalah bagi guru untuk beradaptasi dalam pengintegrasian disiplin ilmu sosial tersebut. Solusi yang dapat diberikan adalah mengajar dengan Team Teaching yaitu dua-tiga orang guru mengajar secara bersama-sama di dalam kelas. Setiap guru memiliki tugas sesuai dengan keahlian dan kesepakatan team.
Pembelajaran IPS Terpadu bagi siswa memberikan peluang untuk pengembangan kreativitasnya. Model ini menekankan pada pengembangan kemampuan analitik, asosiatif serta eksploratif dan elaboratif. Dengan mengupas permasalahan sosial yang ada di lingkungan siswa akan mempermudah dan memotivasi untuk mengenal, menerima, menyerap dan memahami keterkaitan konsep, pengetahuan, nilai atau tindakan yang dikehendaki oleh kurikulum.
Pardigma Sosial Studi
Dalam IPS Terpadu tersurat adanya perubahan paradigma dari Ilmu Sosial (Social Sciences) menjadi Studi Sosial (Social Study). Ilmu-ilmu Sosial (Sosiologi, Antropogi, Ekonomi, Politik, dll) lebih menekankan konsep dan teori yang abstrak dan rumit sehingga kemampuan anak di jenjang pendidikan dasar (SMP) belum cukup untuk menyerap dan memahaminya. Sedangkan studi sosial merupakan bidang pelajaran mengenai kehidupan manusia dalam masyarakat. Studi sosial lebih bersifat praktis, tidak menyajikan materi yang terlalu abstrak dan teoritis tetapi lebih bersifat terapan. Studi sosial lebih menitikberatkan pada bahan-bahan pelajaran yang langsung menyangkut kepentingan siswa dalam rangka proses belajar mengajar guna mencapai tujuan-tujuan pendidikan
Guru harus bisa mengikuti perubahan paradigma ini, sebab perubahan ini memberikan ruang untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengajar. Guru tidak harus tunduk pada urutan KD dalam kurikulum. Ia dapat menetapkan topik atau permasalahan tertentu dan mengambil KD-KD yang dibutuhkan untuk disajikan di dalam pendekatan pembelajaran kooperatif. Guru dapat mengambil topik permasalahan yang sedang aktual misalnya naiknya harga-harga, golput, sampah, pornografi dan sebagainya. Upaya yang harus dilakukan guru IPS memang tidak mudah. Tetapi percayalah, hal ini bukan disebabkan oleh kurangnya kemampuan guru, melainkan karena masih ragu mencoba dan belum terbiasa melakukannya.



3.2 Pemberdayaan Pendidikan IPS pada Madrasah Tsanawiyah
Menyadari pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai luhur Agama Islam sebagai keyakinan hidup, maka eksistensi lembaga pendidikan yang bernuansa Islami semakin didambakan semua orang tua. Mengingat dewasa ini Indonesia sedang mengalami kelunturan nilai dan budi pekerti akibat dari terkikisnya oleh system globalisasi yang nyaris tak terbendung ini.
Senada dengan ini Rusyan ( 2001: 7) mengatakan bahwa budi pekerti merupakan factor utama dalam kesinambungan hubungan dalam kehidupan, maka derajat kita tergantung pada budi pekertinya. Kekayaan yang melimpah bagi kita tanpa dibarengi budi pekerti yang baik akan hilang maknanya dan bukan kebaikan yang akan terwujud, tetapi kejahatan, kekejaman, dan kebengisan terhadap yang lemah (seperti penculikan, pemerkosaan HAM, dan sebagainya).
Kepandaian seseorang tidak ada artinya kalau tidak dibarengi oleh kehalusan jiwa dan ketebalan keyakinan kepada Allah SWT. Selama ini sulit sekali menemukan seseorang yang memiliki kekuatan yang seimbang antar intelegensi (kepintaran) dengan keluhuran budi pekerti karena memiliki kekuatan yang dalam terhadap penguasaan pengetahuan agama dan keimanan yang kokoh.
Madrasah Tsanawiyah adalah suatu institusi pendidikan yang akan menyiapkan semua cita-cita itu. MTs hadir sebagai lembaga yang di dalamnya memuat kurikulum yang sempurna dan seimbang antara pengetahuan agama dengan pengetahuan umum.
MTs sebenarnya lembaga pendidikan yang setingkat dengan Sekolah menengah Pertama (SMP). MTs berada di bawah naungan Departemen Agama yang pengurusannya diserahkan kepada bagian Direktorat Jendral Bimbingan masyarakat Islam(Dirjen Bimas Islam) yang membawahi Direktorat Pendidikan Agama Islam (Depag, 2004: 48) selanjutnya pengurusan untuk tingkat provnsi diserahkan kepada bidang Pendidikan Agama Islam (Mapenda) Kantor Wilayah Depag Provonsi dan pada tingkat Kantor Wilayah Departemen Agama Kabupaten diserahkan kepada bidang Pendidikan Agama Islam (Mapenda) Kantor Departemen Agama Kabupaten (Depag, 2004: 54).
Kurikulum yang digunakan pada MTs merupakan integrasi antara kurikulum Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, dan Pesantren. Kemudian dielaborasi sehingga terbentuk kurikulum yang komprehensif dan unggul dalam segala bidang.



3.3 Peran Serta masyarakat
Mutakin (2008:141) mengatakan bahwa hanya perubahan itu sendiri yang tidak pernh berubah, namun apa yang disebut masyarakat dengan berbagai bentuk satuan sosialnya, dengan berbagai unsure dan aspeknya, dengan berbagai fenomenanya baik fisik material maupun social-spiritualnya, semuanya itu senantiasa mengalami proses perubahan, semuanya mengalami suatu dinamika. Spesifikasi perubahan social itu akan meliputi segala sesuatu yang berkenaan dengan 1) nilai-nilai dan norma-norma sosial, 2) organisasi social, kelembagaan social, kekuasaan dan wewenang, interaksi social dan sejenisnya,
Transformasi masyarakat seperti yang dikemukakan Mutakin di atas memberikan landasan kepada kita bahwa masyarakat senantiasa berubah baik pada pola hidup maupun orientasi hidupnya. Selama ini ketika kita sedang mengalami krisis multidimensional termasuk di dalamnya sedang mengalami krisis moral, maka masyarakt secara alami mulai berpikir cara-cara menanggulangi berbagai krisis itu.
Pendidikan IPS sebagaimana kita ketahui memiliki tujuan yang sangat luhur, yakni dalam rangka membentuk pribadi yang mampu berinteraksi social, memiliki keterampilan social, memiliki keluasan pemahaman tentang pengetahuan social, dsb yang nanti harus dielaborasi dengan pengetahuan agama Islam sehingga dalam hidup dan kehidupannya berkembang secara seimbang dan selaras dengan tuntunan tugas hidup sebagai mahkluk yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.

3.4 Factor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kurikulum Pendidikan IPS di Madrasah pada Tingkat Tsanawiyah
Pendidikan IPS di MTS sebagai lembaga yang berciri khas Islam diimplementasikan sebagai pendidikan kolaborasi antara pendidikan social dengan pendidikan ke-Islam-an. Pesan-pesan moral agama dan nilai-nilai budaya keislaman harus mampu dielaborasi menjadi pendidikan IPS yang integrative dan terpadu sehingga pada akhirnya terbentuk insane sosial yang memiliki utuh sesuai tuntunan nilai-nilai Islam yang terbuktikan dalam kehidupan nyatasehari-hari.
Dalam rangka pembentukan elaborasi pendidikan IPS dengan pendidikan keagamaan harus diupayakan adanya adaptasi pendekatan pendidikan dengan kemajuan zaman yang semakin canggih. Upaya tuntutan ini tentunya pola pendidikan IPS pun harus bersinergi dengan tuntutan reformasi pendidikan kita.
Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi, pendidikan yang mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan guru dan siswa dalam pola-pola pembelajaran IPS.
.Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan , nilai kultural,dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekwensinya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7- 15 tahun (pasal 11 ayat 2). Itulah sebabnya pemerintah(pusat) dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar, miniml pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggungjawab negara yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 34 ayat 2).


BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pendidikan IPS di MTS sebagai lembaga yang berciri khas Islam diimplementasikan sebagai pendidikan kolaborasi antara pendidikan social dengan pendidikan ke-Islam-an. Pesan-pesan moral agama dan nilai-nilai budaya keislaman harus mampu dielaborasi menjadi pendidikan IPS yang integrative dan terpadu sehingga pada akhirnya terbentuk insane sosial yang memiliki utuh sesuai tuntunan nilai-nilai Islam yang terbuktikan dalam kehidupan nyatasehari-hari.
Pendidikan IPS memiliki tujuan yang sangat luhur, yakni dalam rangka membentuk pribadi yang mampu berinteraksi social, memiliki keterampilan social, memiliki keluasan pemahaman tentang pengetahuan social, dsb yang nanti harus dielaborasi dengan pengetahuan agama Islam sehingga dalam hidup dan kehidupannya berkembang secara seimbang dan selaras dengan tuntunan tugas hidup sebagai mahkluk yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
Dalam rangka pembentukan elaborasi pendidikan IPS dengan pendidikan keagamaan harus diupayakan adanya adaptasi pendekatan pendidikan dengan kemajuan zaman yang semakin canggih. Upaya tuntutan ini tentunya pola pendidikan IPS pun harus bersinergi dengan tuntutan reformasi pendidikan kita.
Pendidikan di MTs dibangun guna melaksanakan amanah masyarakat untuk mengantarkan peserta didik pada jenjang kesempurnaan individu yang hakiki. Artinya individu yang selalu siap menghadapi tantangan hidup yang lebih kompleks serta diharapkan memiliki bekal yang luas dalam menghadapi masa depan yang langgeung, yakni akhirat kelak.



4.2 Saran-saran
Saran – saran yang ingin disampaikan berkaitan dengan pembaharuan paradigama pendidikan IPS di MTs adalah sebagai berikut:
1) Pemerintah hendaknya lebih banyak memberikan kesempatan kepada institusi MTs untuk mengembangkan kurikulum pendidikan IPS dengan mengkolaborasikan antara pendidikan keagamaan dengan konsep-konsep social studies.
2) Guru harus mampu mengimbangi perkembangan pendidikan yang semakin berkembang seiring dengan semakin tingginya tuntutan masyarakat yang haus akan kemajuan sebuah pendidikan.
3) Filterisasi budaya barat dalam rangka mencegah penyimpangan perilaku social pad anak didik harus terbentuk melalui pendidikan di MTs.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. (2004). Membiasakan Tradisi Agama (Arah Baru Pengembangan PAI Pada Sekolah Umum. Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam.
Departemen Agama RI. (2004). Struktur Departemen Agama RI. Jakarta: Biro Kepegawaian Sekretariat Jendral.
Iskandar, Dadang dkk. (2009). Pengembangan profesi Guru. bandung: Universitas Pasundan.
Mutakin, Awan. (2008). Individu, Masyarakat dan perubahan Sosial. Bandung: FAkultas PIPS UPI Bandung.
Nasution. (1989). Kurikulum dan Pengajaran. bandung: Bumi Aksara.
Rusyan, A. Tabrani. (2002). Pendidikan Budi Pekerti. Jakarta: Inti Media.
Rusyan, A. Tabrani. (1993). Proses Belajar mengajar yang Efektif Tingkat Pendidikan Dasar. Bandung: Bida Budaya.
Somantri, Muhammad Numan. (2001). Mengagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: PT Rosda Karya.
Supriatna, Nana dkk. (2007). Bahan Ajar Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Usman, Uzer. (1991). Menjadi Guru Profesional. bandung: PT Rosda Karya.


Sumber dari Internet
sriyandi.wordpress.com/.../paradigma-baru-pendidikan-ips/di askses pada tanggal 23 Februari jam 20.00 WIB
pips-sd.blogspot.com/2008_09_01_archive.htmlpips- di askses pada tanggal 23 Februari jam 20.00 WIB

Rekonstruksi pendidikan idul adha

Rekonstruksi Pendidikan Idul Adha Oleh  Apep Munajat (Penulis Adalah Pengurus Pergunu Kabupaten Cianjur, Mahasiswa Program Doktor UN...