Rabu, 01 Februari 2012

REALITAS PENDIDIKAN DI KABUPATEN CIANJUR
(KRITIK ATAS KEBIJAKAN PENDIDIKAN)
Oleh
Apep Munajat
(Disampaikan pada Seminar Sehari yang diselenggarakan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kabupaten Cianjur)
 
<script data-ad-client="ca-pub-5472439132536087" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>

Pendahuluan
Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Pendidikan akan senantiasa diperlukan selama manusia itu ada. Tanpa pendidikan manusia sulit untuk berkembang dan mungkin akan terbelakang. Pendidikan bagi kehidupan manusia ibarat nutrisi di dalam makanan. Ketika tubuh kita kekurangan nutrisi maka kesehatannya akan terganggu. Dalam tubuh kita nutrisi senantiasa diperlukan untuk menjaga kondisi kesehatan tubuh. Begitu pula pemikiran kita sangat memerlukan nutrisi yang sehat. Pendidikanlah nutrisi yang paling tepat untuk pikiran kita agar mampu menciptakan berbagai karya manusia, mencerdaskan kehidupan manusia, membentuk manusia cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa.
Tidak hanya sebatas itu dengan pendidikan manusia dianugerahi ilmu pengetahuan dan Allah SWT menjanjikan untuk meningkatkan manusia beberapa derajat seperti dalam Q.S. Mujadalah :11 yang artinya
Allah akan mengangkat orang-orang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Maka dengan itu pendidikan akan menciptakan manusia yang berharga diri dan berkualitas yang berorientasi pada kebenaran dan menjadikan dirinya bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa. Dalam arti lain manusia diharuskan memiliki kecerdasan secara luas dan arif dalam tingkatan lokal, tingkat nasional maupun global. Sehingga di akhir nanti memiliki kemampuan mengolah bangsa dan negara dan memiliki kearipan terhadap budaya lokal sebagai insan yang melestarikan budaya bangsa. Bukan malah melalui proses pendidikan semakin membentuk mental korup yang selama ini sudah sistemik dan mendarah daging.
Ketika fenomena koruptor ini merajalela kita bertanya-tanya apakah benar para koruptor yang semakin merajalela ini merupakan produk dari pendidikan kita selama ini? Boleh jadi terlalu sarkasme kalau dikatakan koruptor itu dicetak oleh sistem pendidikan Indonesia selama ini. Apapun sistem dan konsep yang telah dirancang oleh arsitek pendidikan Indonesia sudah pasti tidakah bermaksud menciptakan koruptor itu. Tetapi mengapa para koruptor itu terus lahir dan lahir terus sehingga Indonesia semakin terasa sempit karena terlalu banyak warganya yang bermental korup.
Berbicara masalah pendidikan memang sangatlah luas mencakup berbagai aspek dan selalu berkaitan dengan aspek-aspek lainnya. Sepanjang sejarah manusia pendidikan selalu menjadi pokok pikiran yang tak pernah menemukan titik temu. Problema pendidikan kita semakin kompleks dan sarat dengan tantangan seiring dengan perkembangan global.
Berbagai upaya pembenahan dan peningkatan mutu pendidikan terus dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan berbagai kebijakan dan program. Namun, kebijakan dan program-program tersebut nampak tidak memberi jawaban solutif terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan yang berkembang. Kebijakan dan perubahan-perubahan pendidikan kita, kurang memiliki “prioritas” yang ingin dicapai. Akibatnya program dan kebijakan tersebut dipahami masyarakat secara samar-samar. Di satu sisi, perbaikan pendidikan dinyatakan sebagai sub-sistem pembangunan nasional sebagai identitas sistem secara keseluruhan, tetapi di sisi lain program-programnya tidak memiliki konsep yang cukup jelas untuk menjawab paradigma pembangunan yang berorientasi pada pola dan permasalahan kehidupan global yang menuntut kontribusi pendidikan yang dinamis dan bervariasi.
Sebut saja kebijakan pemerintah tentang UN, BOS, Kesejahteraan dan Sertifikasi Guru, Penyediaan Sarana dan Prasarana pendidikan, sampai kepada maraknya jenjang pendidikan setingkat SMP dengan wajah yang berbeda seperti SMP Terbuka, SMP Satu Atap, serta program Rintisan Sekolah Bertarap Internasional (RSBI). Apakah semua program ini telah terrealisasi dengan baik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai? Hambatan apa saja selama program ini dijalankan? Maka di sini akan dicoba dikritisi berdasarkan analisis di lapangan. Analisis yang akan kita lakukan adalah analisis pragmatis bukan normatis. Hal ini karena pembahasan akan dilakukan dengan landasan analisis kritis terhadap realitas pendidikan.

UN antara idealisme dan Realita
Pelaksanaan UN menjadi prokontra di antara kalangan masyarakat. Penerapan sistem UAN (Ujian Nasional) dengan standar minimal penilaian kelulusan adalah sebuah fenomena yang memperluas permasalahan di lapangan, yang sampai detik ini masih terus diperdebatkan kelayakannya. Benarkah sistem ini mampu meningkatkan kualitas pelajar kita? Yang terjadi di lapangan justru kecurangan bahkan “pembodohan kolektif”. dengan melakukan pembocoran Jawaban dari soal-soal UN oleh (oknum) sekolah-sekolah tertentu. Atau demi menjaga citra sekolahnya dengan berkeinginan mendapat predikat lulus 100% dibentuklah Tim Sukses. Tim sukses menjadi rahasia umum setelah kelulusan siswa diukur dengan nilai rata-rata minimal yang ditentukan pemerintah.
Di samping adanya pembodohan secara kolektif, UN menjadikan guru bidang studi tertentu stres karena dihantui ketakutan yang dalam terhadap kelulusan siswa. Seolah-olah yang ujian itu adalah guru. Akhir dari kondisi ini guru mencari jalan pintas dengan menghalalkan berbagai cara yang penting siswa mampu mencapai target lulus.
Selanjutnya dengan fenomena tersebut apakah UN benar-benar dapat dijadikan rujukan oleh pemerintah terhadap pencapaian standar nasional? Sementara ketika ditemukan siswa yang dianggap tidak mampu mencapai rata-rata nilai lulus kemudian dilakukan rekayasa oleh oknum sekolah dan dipaksakan untuk mencapai target lulus.
Hal ini akan menjadi dilema ketika sekolah harus tetap mempertahankan idealismenya. Dan ketika hal ini dilakukan maka dapat ditemukan di beberapa sekolah yang sebagian siswanya tidak lulus, bahkan di sebagian wilayah Indonesia ditemukan hampir 100% tidak lulus. Ketidaklulusan ini menjadikan semakin bertambahnya korban kebijakan UN yang selama ini diterapkan. Maka tidak heran dampak dari semua itu menuai berbagai reaksi dari berbagai kalangan. Terjadilah demonstrasi masyarakat, guru, pelajar, dan pemerhati pendidikan lainnya. Mereka menuntut adanya pembubaran UN dan diganti dengan format lain yang lebih manusiawi.
Pelaksanaan UN selama ini berlangsung sangat kontradiksi antara pelaksanaan UN yang super ketat dengan manipulasi jawaban siswa. Keterlibatan pihak lain dalam pelaksanaan UN seperti Pemantau Independen dan kepolisian mulai dari pengambilan soal sampai dengan pelaksaan UN menimbulkan suasana UN sangat mencekam bukan ketenangan akibatnya sekolah layaknya sarang teroris.
UN dirasakan semakin bingung karena di lapangan bukan menjadi motivasi bagi guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Guru hanya ingin mengejar target saja tidak memperhatikan fungsi dan makna pendidikan yang lainnya. Sehingga UN hanyalah upaya untuk meningkatkan kecerdasan akal saja (IQ). Padahal pendidikan bukan hanya sebatas itu, tetapi kecerdasan lainpun perlu mendapat perhatian yang seimbang seperti EQ, SQ, dan kecerdasan yang lainnya.
Di akhir pembahasan mengenai fenomena realitas UN ini penulis sebagai praktisi pendidikan dalam arti guru ingin menyampaikan saran dan harapan kepada pembuat kebijakan khusus mengenai UN supaya UN tetap pada idealismenya sebagai alat untuk mengukur kemajuan pendidikan dan tetap menjadi pengendali mutu pendidikan tingkat nasional.
1. Jangan dijadikan UN menjadi faktor penentu kelulusan dengan angka sebagai target utama. Walaupun ada kebijakan lebih baik tentang kelulusan dua tahun terakhir ini yakni menggabungkan rata-rata nilai raport dengan Nilai murni UN. Kebijakan ini sepertinya masih belum mampu menekan manipulasi jawaban atas pesanan oknum orang tua yang menitipkan anaknya agar kelak bisa diterima di SMA pavorit pilihannya.
2. Jangan dijadikan hasil UN sebagai alat diterima atau tidaknya pada jenjang SMA. Artinya pada tingkat SMA harus memiliki alat tes sendiri yang dibuat sekolah.
3. Soal-soal UN harus mampu memotret seluruh kompetensi dan karakter siswa. Termasuk melibatkan apeksi dan psikomotor siswa. Bila perlu soal-soal UN memperhatikan EQ dan SQ.
4. harus ada sinergi antara UN dan praktik pembelajaran yang berlangsung di sekolah. Hal ini karena UN disinyalir menjadi penghambat bagi guru untuk mengembangkan pembelajaran yang dialogis, terbuka, dinamis, menarik, dan menyenangkan serta melibatkan kondisi-kondisi ril kehidupan masyarakat sekitarnya.

Kondisi Nyata Pelaksanaan Sertifikasi Guru
Program sertifikasi guru merupakan amanat UU No 20 tahun 2003 tentang SPN yang selanjutnya lebih diperjelas lagi pada UU NO 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen kemudian lebih spesifik lagi dijelaskan pada Peraturan pemenrintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.
Gagasan awal sertifikasi adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan. Sesui amanat UU Nomor 14 tahun 2004 tentang Guru dan Dosen yang menetapkan kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sebagai suatu kesatuan upaya pemberdayaan guru. Maka program ini hendaknya janganlah dipandang sebagai proses legalisasi semata, akan tetapi harus dipandang sebagai ijtihad untuk meningkatkan kompetensi profesi guru. Karena itu proses ini harus betul-betul dilakukan secara teliti dan cermat agar tak menurunkan mutu guru.
Namun kenyataan di lapangan pelaksanaan sertifikasi masih menyisakan setumpuk permasalahan. Sejak dimulainya sertifikasi guru, guru diharuskan mengumpulkan portopolio dengan mengumpulkan sejumlah nilai minimal 850. Profesionalisme guru ukurannya adalah dokumen portopolio padahal banyak sekali oknum peserta sertifikasi yang memanifulasi data dengan memasukan dokumen piktif. Lantas melalui kegiatan ini bagaimana dengan pemberdayaan profesionalisme guru? akhir dari sertifikasi inii para guru mesti memiliki sertifikat pendidik sebagai bukti dan legalitas guru profesional. Untuk itu, guru mesti mengikuti uji sertifikasi sampai mendapatkan sertifikat guru yang dianggap sebagai bukti sahih bahwa guru yang bersangkutan benar-benar profesional. Apakah melalui sertifikat ini bisa digunakan untuk mengukur tingkat profesionalitas guru? ini adalah pertanyaan besar yang perlu dievaluasi pemerintah.
Evaluasi perlu dilakukan supaya tidak terlalu memboroskan waktu dan biaya. Kalau memang pemerintah peduli untuk meningkatkan kesejahteraan guru sebagai starting point dalam meningkatkan kinerja guru, naikkan saja gaji guru berdasarkan prestasi dan masa kerja. Lalu, berdayakan komunitas dan organisasi profesi guru sebagai wadah untuk berbagi dan bersilaturahmi. Tidak melalui proses yang rumit dan panjang. Bila perlu bagi guru yang sudah mengabdi langsung diberikan sertifikat pendidik tanpa harus melalui proses yang panjang yang tentunya memakan biaya yang tak sedikit, sehingga pemerintah bisa sedikit menghemat. Toh pada akhirnya semua guru diwajibkan mendapat sertifikat. Masalah profesionalisme sementara di kesampingkan karena portopolio dan PLPG tidak bisa menyulap guru menjadi profesional. Dan setelah diterima sertifikat pendidik maka pemerintah harus segera mencairkan tunjangannya tanpa harus melalui proses yang berbelit.
Sertifikat memang sangat diperlukan karena sebagai wujud dari profesionalisme dan kelayakan. Namun bagi guru dalam jabatan seperti yang telah dikatakan di atas proses perolehan sertifikatnya harus langsung, karena prosedur yang sedang berjalan terlalu rumit dan mungkin sarat dengan manifulasi. PLPG dianggap sebagai “kawah candradimuka” menyulap guru yang asalnya tidak profesional dalam jangka waktu sembilan hari dinyatakan menjadi guru profesional. Menciptakan guru profesional dalam arti memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional tidak bisa dalam waktus sesingkat itu, tetapi tentunya akan memerlukan waktu cukup lama.
Yang paling kontradiksi antara kualitas dengan realitas adalah bahwa melalui program sertifikasi telah terjadi penghalalan mismatch guru dengan mata pelajaran yang diampunya. Sebagai contoh DI MTs guru yang berlatar belakang PAI mengajar bahasa Inggris kemudian dia mengikuti sertifikasi mata pelajaran bahasa Inggris. Maka ketika kita berbicara kualitas terlalu dini untuk mengatakan profesional. Pengetahuan yang ia peroleh tentu bukan bahasa Inggris melainkan PAI. Pengetahuan dan kemampuan bahasa Inggris ia peroleh hanya melalui otodidak yang secara akademik tidak bisa dipertanggungjawabkan. Hal semacam ini salah satu contoh kasus yang perlu mendapat perhatian serius bagaimana solusi yang paling tepat agar tetap guru memiliki kompetensi.
Setelah guru dinyatakan profesional dengan bukti fisik sertifikat guru profesional, ternyata masih pula ditemukan permasalahan, yang di antaranya adalah pencairan tunjangan sertifikasi yang tersendat. Katidakmenentuan pencairan tunjangan sertifikasi ini mengakibatkan guru pun resah karena mereka telah ditunggu oleh berbagai kebutuhan yang mendesak.

Sarana dan Prasarana Pendidikan
Sarana dan prasarana bagi lembaga pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting. Kemajuan sebuah lembaga dapat dilihat dari seberapa lengkap sarana dan prasarana yang tersedia. Permasalahan seputar sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah yang gedungnya rusak, dan belum tersentuh perbaikan sama sekali dari pemerintah, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Permasalahan di atas harus menjadi bagian penting yang harus segera diperbaiki karena berdampak pada kenyamanan belajar peserta didik yang menimbulkan banyak sekali efect, permaslahan seperti ini sepenuhnya tanggung jawab pemerintah dalam mengakomodasi perbaikan.

Antara SMP Induk, SMP Terbuka, SMP Cerdas Satu Atap, sampai dengan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI).
Selama ini saya sebagai seorang praktisi pendidikan dalam arti seorang guru sering mempertanyakan apa maksud yang sebenarnya dari dikeluarkannya kebijakan tentang SMP Terbuka, SMP Cerdas Seatap, atau yang lainnya. Padahal menurut pandangan penulis yang pernah pula mengelola SMP terbuka merasa ada sesuatu yang kurang dari pelaksanaan ini. Walaupun untuk menjaring peserta didik yang tidak bisa menjangkau SMP induk, tetapi menurut saya hal ini hanyalah format formalitas saja yang akhirnya supaya anak mendapat selembar ijazah padahal kemampuan akdemiknya masih perlu dipertanyakan. Memang mereka bisa belajar paruh waktu di sela-sela luangnya. Sebab mereka kebanyakan dari kalangan tidak mampu dan kesehariannya bekerja membantu orang tuanya mencari nafkah. Apalah arti dari selembar ijazah kalau toh pengetahuan mereka seadanya. Menurut pandangan saya masih lebih bagus tidak memiliki selembar ijazah tetapi ilmu pengetahuannya luas dan dalam melalui proses belajar mandiri non formal.
Semakin bingung lagi setelah muncul SMP dalam format yang lain, yaitu SMP Cerdas Satu Atap. Apa bedanya antara SMP Terbuka dengan SMP Cerdas Satu Atap? Kemunculan SMP Cerdas satu Atap sering kali menimbulkan polemik yang tidak berujung, baik di kalangan pembuat kebijakan, pengelola, guru, siswa, sampai pada orang tua siswa.
Dalam hal pendirian SMP Cerdas Satu Atap tentunya perlu ada kajian yang cukup mendalam karena kemunculannya ibarat jamur di musim hujan. Kadang-kadang pendiriannya hanya didasari oleh pemanfaatan kesempatan untuk menjaring aliran dana yang dukucurkan pemerintah saja. Hal lain yang menjadi faktor utama pendirian sebuah sekolah sepertinya diabaikan. Secara sederhana mungkin dapat saya katakan mendirikan lembaga pendidikan tidak semudah membalikan telapak tangan. Artinya, pendirian sebuah sekolah harus didukung oleh berbagai faktor yang tentunya tidak sekedar untuk kepentingan jangka pendek saja, tetapi perlu dipikirkan juga jauh ke depan supaya kelestarian lembaga pendidikan itu tetap terjaga.
Perlu dikaji pula, ketika SMP Terbuka dan SMP Cerdas satu atap berdiri, maka harus ada kesiapan mulai dari SDM sampai dengan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. Ketika dilihat di lapangan ternyata hal ini sangat diabaikan oleh pendiri dan pengelola. Akibatnya siswa Cerdas Seatap diajari dan dibina oleh guru seadanya, yang mungkin kualifikasi dan kompetensinya kurang layak.
Yang paling menggelikan ada kabar sebuah SMP seatap ternyata muridnya diakui pula oleh SMP terbuka yang memang tempatnya di sebuah Sekolah Dasar yang sama. Berarti uang BOS pun cair untuk kedua lembaga tersebut padahal siswanya itu-itu juga. Kita perlu mempertanyakan apa maksud pengelola tersebut sehingga hal ini dibiarkan begitu saja. jika saja hal ini benar terjadi berarti begitu buruknya potret pendidikan Indonesia.
Bagaimana tentang RSBI? Saya menyikapi bahwa RSBI merupakan ide yang sangat brilian dan perlu diacungkan jempol kepada pemerintah. Karena di sini pemerintah ingin mensejajarkan pendidikan kita dengan pendidikan internasional. Namun perlu pula dikaji dari sisi lain yang tak kalah pentingnya sebagai bahan pertimbangan pembuat kebijakan. Yaitu, pemunculan RSBI seakan-akan melupakan kearifan budaya lokal yang menurut penulis jauh lebih unggul dibandingkan dengan budaya barat. Tetapi kita sering apriori terhadap budaya lokal dan tradisional. Seolah –olah budaya lokal dan tradisional itu adalah kuno dan ketinggal zaman. Padahal tidak sedikit orang Barat sendiri datang ke Indonesia hanya untuk menyaksikan keagungan budaya daerah bahkan ada yang langsung mempelajari keragamannya.
Memang RSBI adalah amanat UU No 20 Tahun 2003 pada Bab XIV pasal 50 ayat 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pemerintah daerah harus mengembangkan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan menjadi bertaraf internasional. Kabupaten Cianjur tentu perlu dikaji kesiapannya. Walaupun beberapa sekolah telah mencoba merintisnya. Namun tentunya perlu dievaluasi agar keberlangsungannya tetap menjadi sekolah yang benar-benar unggul baik di tingkat daerah, di tingkat nasional, maupun di tingkat internasional. Pemikiran yang paling sederhana mungkin sekolah tersebut harus memiliki tahapan secara alamiah dalam arti bertaraf lokal, naional, dan internasional. Setelah menjadi SBI maka tentunya harus benar-benar menunjukkan kualitas internasionalnya dan berbeda dengan kelas-kelas lain. Pada kelas internasional tentu harus menunjukkan kualitas peserta didik yang berbeda pula dan ini yang menjadi ukurannya adalah Ujian Nasioanl. Jangan sampai kelas internasional lantas prestasinya di bawah kelas reguler lain. Kita sering mendengar sebuah plesetan untuk RSBI, yaitu Rintisan Sekolah Bertarif Internasional. Begitulah plesetan masyarakat yang memang RSBI cukup mahal sehingga untuk ukuran masyarakat dengan berpenghasilan menengah ke bawah untuk bisa masuk ke kelas internasional adalah mimpi.

Prilaku dan Akhlak Peserta Didik
Membicarakan masalah dunia pendidikan di Indonesia sepertinya selalu menarik untuk diperdebatkan. Ibaratnya menegakkan benang basah, sukar sekali untuk mencari format terbaik dalam mengelola pendidikan di tanah air. Berganti-gantinya peraturan bukannya semakin mengerucutkan permasalahan yang akan memudahkan dicari solusi pemecahannya namun malah semakin rumit dan apalagi jika dikaitkan dengan isu-isu politik atau dipolitisir. Sementara itu di lapangan tawuran pelajar masih marak terjadi, narkoba semakin merajalela, premanisme dan tingkat kriminalitas pelajar meningkat, bahkan hal-hal yang tidak sepatutnya mereka lakukan seperti seks bebas dan aborsi mengalami kecenderungan meningkat.
Tawuran antar pelajar juga masih sering mewarnai Cianjur sebagai tatar santri dan ini memicu semakin kusamnya pendidikan kita (ironis sekali). Dari dulu sampai sekarang tidak pernah ditemukan titik penyelesaian. Padahal menurut mereka pemicu dari semua itu tidaklah substansial bahkan hanya sepele saja, misalnya gara-gara rebutan pacar, tersenggol ketika nonton konser, pertandingan persahabatan, saling ejek mengejek, dsb. Yang semua pemicu itu sebetulnya tidak patut terjadi sampai tawuran karena kita adalah negara Pancasila yang mengutamakan msyawarah dalam penyelesaian masalah.
Ketika di angkat di forum diskusi, seminar, dan sejenisnya dan para pakar pendidikan berbicara yang menjadi penyebab semua permaslahan di atas adalah selalu mengkambinghitamkan pada kurangnya pendidikan moral di sekolah serta ditambah pengaruh media komunikasi dan hiburan yang semakin sering menayangkan adegan kekerasan. Di sekolah terlalu mengutamakan pembelajaran dalam mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi, semua kegiatannya berorientasi pada keterampilan dan kecerdasan otak saja. Sementara nilai-nilai moral, religius, dan kepribadian, kesolehan, serta pendidikan karakter masih belum cukup untuk membentuk pribadi peserta didik yang berakhlaq mulia. Atau mungkin oleh faktor moral dan kepribadian guru itu sendiri yang belum mampu menjadikan model positif di depan siswanya, sehingga beresonansi terhadap jiwa siswa. “Akibatnya siswa kencing berlari karena gurunya kencing berdiri”
Padahal Cianjur adalah kota santri dengan motonya Gerbang Marhamah (Gerakan Masyarakat berakhlakul karimah). Namun semakin kita mencanangkan program-program yang berbau religius dan pembentukan akhlak mulia maka seiring dengan itu pula semakin bermunculan kasus-kasus sebagai indikasi paradoksal. Mungkin inilah ujian terberat untuk menjdikan Cianjur menjadi kota santri, kota seribu mesjid, dan gerabng marhamah.

Kesimpulan
Demikian uraian singkat ini. Diangkat kepermukaan bukan berarti membeberkan kelemahan dan kekurangan namun di sisi lain harus adanya introsfeksi diri dan menggugah kesadaran terhadap realitas pendidikan kita agar segera memperbaiki dan membenahi semua kekurangan dan kelemahan sehingga ketertinggalan kita tidak berlarut-larut. Jangan kalah oleh Malaysia yang dulu mereka belajar dari kita, masa hari ini kita belajar kepada mereka.
Dunia pendidikan kita sepertinya sedang sakit, sehingga diperlukan dokter-dokter pendidikan untuk segera mengobatinya agar cepat sembuh. Pendidikan Indonesia sudah saatnya diperbaiki. Menciptakan nilai-nilai demokrasi di dalam pendidikan Indonesia jauh lebih baik dan penting sehingga pendidikan menjadi jargon kemajuan bangsa. Sudah seharusnya dari sekarang pendidikan tidak dijadikan alat untuk kepentingan politik, tetapi pendidikan dijadikan alat untuk menciptakan manusia yang cerdas, unggul, kompetitif, dan berakhlakul karimah.

Terima kasih

Tidak ada komentar:

Rekonstruksi pendidikan idul adha

Rekonstruksi Pendidikan Idul Adha Oleh  Apep Munajat (Penulis Adalah Pengurus Pergunu Kabupaten Cianjur, Mahasiswa Program Doktor UN...