Jumat, 25 Desember 2009

Pemikiran Idealisme Pendidikan Nilai Moral di Lingkungan Keluarga
dan Institusi Pendidikan Formal
Oleh Apep Munajat

Manusia secara kodrati telah dianugrahi dimensi nilai dan moral. Tidak ada seorang pun yang free value atau bebas nilai. Pendidikan Nilai dan Moral sebagai kodrat manusia wajib terlaksana langsung ataupun tidak langsung dalam kehidupannya, baik di lingkungan keluarga maupun interaksinya di sekolah.
Keluarga merupakan organisasi terendah yang secara langsung memberikan sumbangan terbesar dalam menumbuhkan nilai moral anak-anaknya. Keluarga sebagai pendidikan pertama, dan orang tua sebagai guru pertamanya harus mampu mendidik dan melatih sekaligus memberikan teladan bagi anak-anaknya dalam berperilaku yang mencerminkan Nilai Moral yang sempurna.
Menurut Reiner Dobbert dan Nunner Winkler dalam Kosasih Djahiri menyatakan bahwa keluarga merupakan lembaga social yang paling primer dan penentu karakter diri seseorang. Hal ini dikarenakan pendidikan dalam keluarga berlangsung 24 jam di mulai dari bangun tidur sampai dengan mau tidur kembali, lebih luas lagi penbdidikan keluarga itu terjalin sejak lahir sampai dengan masuk liang lahat. Bahkan semenjak dalam kandungan pun pendidikan Nilai Moral dan Norma bisa terjadi melalui perilaku dan perlakuan orang tuanya.
Tentang rasionalisasi pendidikan Nilai Moral di sekolah berlangsung yang paling efefktif. Hal ini karena sekolah sebagai institusi formal yang di dalamnya banyak komponen, system dan subsistem yang kesemuanya berintegrasi untuk mencapai tujuan, di antaranya pembentukan Nilai Moral dan Norma pada peserta didik melalui pendekatan dan metode tepat untuk menghasilkan peserta didik yang bernilai, bermoral, dan bernorma. Guru sebagai bagian dari system di persekolahan memiliki hak perogratif penuh untuk menciptakan kader siswa bernilai bermoral, dan bernorma. Langkah pembentukan nilai moral ini bisa diaflikasikan melalui pendidikan afektif (sikap), sehingga menghasilkan siswa yang pintar dan diimbangi dengan emosi afektualnya yang cerdas.
Alhasil pendidikan nilai moral di sekolah dilaksanakan melalui pembelajaran dalam rangka pembentukan pengalaman yang komprehensif melalui teknik, metode, dan pendekatan pembelajaran yang diterapkan guru. Jika kita telusuri perkembangan pendidikan nilai moral di lembaga pendidikan nampak mengalami fluktuatif. Pendidikan nilai moral dikembangkan sebagai akibat dari out put (lulusan siswa) yang memang sebenarnya dari hasil pendidikan formal itu belum mampu membentuk prilaku siswa yang bernilai menurut acuan norma agama maupun acuan norma nilai kemasyarakatan.
Dalam perkembangan kurikulum di Indonesia, muatan pendidikan nilai dan moral berada pada bentangan mata pelajaran yang memang dibebankan untuk mengolah dan membentuk perilaku siswa yang memiliki nilai luhur dan memiliki moral yang normative menurut ukuran mutan nilai pada mata pelajaran itu. Misalnya kita sebut saja pendidikan Budi Pekerti, Pendidikan Moral Pancasila (PPKn atau PKn), PSPB, dan Pendidikan Agama Islam khususnya pada kurikulum-kurikulum sebelum kurikulum 2004. Mata pelajaran-mata pelajaran ini seolah-olah berkewajiban "memaksakan" siswa berperilaku seperti muatan mata pelajaran itu. Ternyata dari produk-produk mata pelajaran yang sarat dengan "nilai moral" itu hanya mampu meciptakan siswa yang pandai dan pintar secara kognitif saja. Sedangkan penciptaan karakter nilai yang bermoral secara komprehensif tidak membuahkan hasil apa-apa. Afeksi siswa justru semakin tumpul, karena system penerapan pembelajarannya ditemukan banyak masalah.
Jika kita amati secara kasat mata pemikiran nilai moral pada kurikulum 2004 dan revisi kurikulum 2006 atau yang disebut KTSP pendidikan moral dan budi pekerti seolah-olah kehilangan identitasnya. Moral, norma, dan budi pekerti yang merupakan tujuan dari pembentukan karakteristik siswa yang diharapkan dan di agung-agungkan banyak pihak seolah kehilangan bentuk dan raganya.
Namun, jika kita amati lebih mendalam, eksistensial pendidikan nilai, moral dan budi pekerti tumbuh dan berkembang bukan hanya pada satu atau dua mata pelajaran yang dibebani membentuk nilai luhur itu, namun harus tumbuh dan berkembang pada semua mata pelajaran. Artinya, tugas menciptakan moral, norma, dan budi pekerti bukan saja tanggung jawab guru mata pelajaran tertentu, tetapi secara komprehensif merupakan tugas dan tanggung jawab bersama guru mata pelajaran dan komponen pendidikan lainnya. Jadi, mata pelajaran- mata pelajaran lain mendapat tugas dan tanggung jawab yang sama dengan guru yang mengampu mata pelajaran PAI, PKN, Sejarah, dsb dalam membentuk perilaku siswa yang bernilai, bermartabat, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU No. 20 Tahun 2003 tentang SPN pasal 3). Sehingga status pendidikan nilai, moral, norma, dan budi pekerti pada kurikulum KTSP termasuk bagian dari hiden curriculum (kurikulum yang tersembunyi). Simpulannya semua mata pelajaran itu wajib bermuatan pendidikan Nilai Moral dan Norma, baik melalui pembelajaran intrakurikuler, ekstrakurikuler, maupun kokurikuler

Tidak ada komentar:

Rekonstruksi pendidikan idul adha

Rekonstruksi Pendidikan Idul Adha Oleh  Apep Munajat (Penulis Adalah Pengurus Pergunu Kabupaten Cianjur, Mahasiswa Program Doktor UN...