Minggu, 27 Desember 2009

DAMPAK PELAKSANAAN SERTIFIKASI GURU TERHADAP PENINGKATAN KOMPETENSI DAN KESEJAHTERAAN GURU-GURU MI DAN MTs DI KECAMATAN TANGGEUNG KABUPATEN CIANJUR.

 <script data-ad-client="ca-pub-5472439132536087" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>

Semua negara di dunia sepakat bahwa dalam rangka peningkatan kualitas manusia harus bersumber dari pendidikan. Pendidikan menyumbang sangat besar terhadap mutu hidup manusia. Tentunya pendidikan yang bagaimana yang mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup manusia itu? Jawabannya adalah pendidikan yang berkualitas.
Pendidikan yang berkualitas sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya guru, siswa, sarana dan prasarana, lingkungan pendidikan dan kurikulum (Widoyoko, 2008). Faktor guru memegang peranan yang sangat penting karena guru merupakan garda paling depan yang secara langsung berhadapan dengan subjek didik. Subjek didik inilah yang menjadi fokus penentu berhasil tidaknya proses pendidikan. Maka dengan itu guru harus benar-benar menguasai berbagai kompetensi agar mutu lulusan dapat bersaing nanti setelah terjun di lingkungan masyarakat yang majemuk. Hal ini karena kita menyadari bahwa subjek didik (siswa) merupakan investasi terbesar bagi bangsa ini dalam menentukan nasib bangsa ke depan.
Dari sejumlah faktor penentu keberhasilan itu, sepertiganya disumbangkan oleh faktor guru ((Widoyoko, 2008)). Guru dengan berbagai keterbatasannya sebagai manusia harus mampu mengantarkan peserta didik untuk mencapai perkembangan dan perubahan menuju kedewasaan fisik, mental, spiritual, kepribadian, keterampilan, dan kecerdasannya. Segala bentuk usaha seorang guru besar kecilnya akan sangat berpengaruh terhadap perubahan tersebut. Apalagi bagi negara-negara yang sedang berkembang yang ketersediaan pasilitas, sarana, dan prasarananya masih sangat memperihatinkan, paktor guru menentukan peran yang cukup penting dan tidak mungkin ada penggantinya yang lebih sempurna.
Pendidikan yang berkualitas ditentukan oleh guru yang berkualitas pula. Kualitas guru selalu menjadi wacana dan perbincangan yang tidak pernah usang dan selalu menjadi isu strategis untuk menentukan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Senada dengan ini dikatakan oleh Fasli Jalal (2007: 1) mengatakan bahwa pendidikan yang bermutu sangat bergantung pada keberadaan guru yang bermutu. Oleh karena itu, guru harus terus berupaya dan koopratif dengan pembuat kebijakan dalam hal ini adalah pemerintah.
Pemerintah tidak henti-hentinya berupaya dengan berbagai cara untuk mencetak guru yang profesional yang memiliki kompetensi yang diharapkan. Salah satu upaya yang sedang ditempuh oleh pemerintah adalah melakukan sertifikasi guru.
Sertifikasi guru merupakan amanat Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Tujuan terpenting dari realisasi sertifikasi ini pada dasarnya adalah untuk tetap menjaga dan meningkatkan profesionalisme, harkat dan martabat, serta kesejahteraan guru.
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (UU Nomor 14: 1). Salah satu indikator guru yang profesional adalah memiliki kompetensi yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (UU Nomor 14: 10)
Setelah diluncurkannya undang-undang ini secara bertahap pemerintah mulai merealisasikannya dengan dua cara yaitu melalui jalur penilaian fortopolio dan melalui jalur pendidikan. Namun pelaksanaannya menimbulkan pro dan kontra. Berbagai pihak beropini dan meluncurkan isu-isu hangat seputar akuntabilitas pelaksanaan sertifikasi. Catatan di lapangan tentang pascasertifikasi bagi guru bahwa pada dasarnya mereka sedikit yang mengalami perubahan menuju lebih baik. Kompetensi yang mereka miliki tetap saja tak berubah walaupun tunjanmgan profesionalnya telah dikucurkan.
Kondisi nyata seperti ini harus segera dicarikan solusinya agar tidak berlanjut sehingga cita-cita yang tinggi untuk mewujudkan bangsa yang maju melalui pendidikan yang berkualitas dapat tercapai. Selanjutnya pemerintah pun harus tetap konsisten melaksanakan sertifikasi sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 walaupun menemukan halangan dan rintangan yang menghadang itu.
Kecamatan Tanggeung sbagai salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Cianjur memiliki wilayah yang potensial dalam pengembangan pendidikan yang berciri khas keagamaan, seperti Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah. Jumlah guru yang telah disertifikasi sampai dengan tahun 2009 sebanyak 120 orang dari 425 orang guru MI, MTs, maupun MA. Jai rata-rata persekolah yang telah memiliki guru profesional dengan memiliki empat kompetensi profesional tersebut di atas adalah 5 orang. Sejumlah guru tersebut telah mendapatkan tunjangan profesi sebesar gaji pokoknya. Ini adalah sebagai konsekuensi logis dari guru yang sudah bersertifikat profesional sehingga jika dilihat dari segi finansial mereka telah menambah kesejahteraan keluarganya.
Sertifikasi merupakan upaya peningkatan mutu guru yang diikuti dengan peningkatan kesejahteraan guru, sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan (Depdiknas, 2008:1).
Jika dilihat jumlah guru yang telah disertifikasi di atas secara signifikan harus mampu mengembangkan institusi tempat mereka bertugas menjadi lembaga yang berkualitas. Sekurang-kurangnya harus memiliki kualitas pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pemerintah dan masyarakat.
Melihat kondisi nyata itu penulis memandang penting kontribusi sertifikasi terhadap peningkatan kompetensi dan kesejahteraan guru sehingga kualitas guru semakin meningkat yang ditunjukkan oleh kinerja dan out put siswa (lulusan).

Jumat, 25 Desember 2009

              Demam Sertifikasi bagi guru sedang mewabah. mulai dari kalangan guru-guru SD sampai dengan Dosen selalu memperbincangkan hal ini di mana-mana. jika saja guru-guru itu berkumpul di berbagai sudut sekolah maka mareka tak luput membicarakan sertifikasi. Bertukar pikiran, berbagi pengalaman, sampai merencanakan pengumpulan dokumen portopolio selalu di kupas habis dalam perbincangan sederhana di tempat guru-guru berkumpul. itu.
             

Islam dan Musuhnya

            Sudah seharusnya Islam menang. Sejak mengalami keruntuhan khilafah Islam di turki sekitar awal abad ke-20 Islam lama tidak bangkit..Namun Panji Islam akan terus berkibar selama Al-Quran menjadi pedoman umat masnusia di muka bumi ini. begitu sebaliknya Islam akan hancur jika kita berpaling dari Al-Quran. 
            Musuh Islam banyak, maka sudah seharusnya kita merapatkan barisan memperkuat shap untuk menghadang, menangkal, dan menyerang musuh. Musuh kita datang dari berbagai arah, kiri, kanan, atas, dan bawah. jika kita lengah sedikit, maka musuh bisa menggempur kita. Kawan..... berjuang demi memenangkan Islam di muka bumi ini adalah wajib.

Doa Ikhlas

       Rabb, jika Kau berkehendak untuk mengambilnya,... maka ambillah karena semua yang ada adalah hanya milikMu. tidak hanya kesehatan, kebahagiaan, kekuatan, kesabaran, , keikhlasan, kecintaan, dan kerinduan, jiwa dan raga pun kuihkhlaskan kalau memang Kau berkehendak untuk mengambilnya. Wamahyaya wamamati lilahirabbil alamain.

Pemikiran Idealisme Pendidikan Nilai Moral di Lingkungan Keluarga dan Institusi Pendidikan Formal

Manusia secara kodrati telah dianugrahi dimensi nilai dan moral. Tidak ada seorang pun yang free value atau bebas nilai. Pendidikan Nilai dan Moral sebagai kodrat manusia wajib terlaksana langsung ataupun tidak langsung dalam kehidupannya, baik di lingkungan keluarga maupun interaksinya di sekolah.
Keluarga merupakan organisasi terendah yang secara langsung memberikan sumbangan terbesar dalam menumbuhkan nilai moral anak-anaknya. Keluarga sebagai pendidikan pertama, dan orang tua sebagai guru pertamanya harus mampu mendidik dan melatih sekaligus memberikan teladan bagi anak-anaknya dalam berperilaku yang mencerminkan Nilai Moral yang sempurna.
Menurut Reiner Dobbert dan Nunner Winkler dalam Kosasih Djahiri menyatakan bahwa keluarga merupakan lembaga social yang paling primer dan penentu karakter diri seseorang. Hal ini dikarenakan pendidikan dalam keluarga berlangsung 24 jam di mulai dari bangun tidur sampai dengan mau tidur kembali, lebih luas lagi penbdidikan keluarga itu terjalin sejak lahir sampai dengan masuk liang lahat. Bahkan semenjak dalam kandungan pun pendidikan Nilai Moral dan Norma bisa terjadi melalui perilaku dan perlakuan orang tuanya.
Tentang rasionalisasi pendidikan Nilai Moral di sekolah berlangsung yang paling efefktif. Hal ini karena sekolah sebagai institusi formal yang di dalamnya banyak komponen, system dan subsistem yang kesemuanya berintegrasi untuk mencapai tujuan, di antaranya pembentukan Nilai Moral dan Norma pada peserta didik melalui pendekatan dan metode tepat untuk menghasilkan peserta didik yang bernilai, bermoral, dan bernorma. Guru sebagai bagian dari system di persekolahan memiliki hak perogratif penuh untuk menciptakan kader siswa bernilai bermoral, dan bernorma. Langkah pembentukan nilai moral ini bisa diaflikasikan melalui pendidikan afektif (sikap), sehingga menghasilkan siswa yang pintar dan diimbangi dengan emosi afektualnya yang cerdas.
Alhasil pendidikan nilai moral di sekolah dilaksanakan melalui pembelajaran dalam rangka pembentukan pengalaman yang komprehensif melalui teknik, metode, dan pendekatan pembelajaran yang diterapkan guru. Jika kita telusuri perkembangan pendidikan nilai moral di lembaga pendidikan nampak mengalami fluktuatif. Pendidikan nilai moral dikembangkan sebagai akibat dari out put (lulusan siswa) yang memang sebenarnya dari hasil pendidikan formal itu belum mampu membentuk prilaku siswa yang bernilai menurut acuan norma agama maupun acuan norma nilai kemasyarakatan.
Dalam perkembangan kurikulum di Indonesia, muatan pendidikan nilai dan moral berada pada bentangan mata pelajaran yang memang dibebankan untuk mengolah dan membentuk perilaku siswa yang memiliki nilai luhur dan memiliki moral yang normative menurut ukuran mutan nilai pada mata pelajaran itu. Misalnya kita sebut saja pendidikan Budi Pekerti, Pendidikan Moral Pancasila (PPKn atau PKn), PSPB, dan Pendidikan Agama Islam khususnya pada kurikulum-kurikulum sebelum kurikulum 2004. Mata pelajaran-mata pelajaran ini seolah-olah berkewajiban "memaksakan" siswa berperilaku seperti muatan mata pelajaran itu. Ternyata dari produk-produk mata pelajaran yang sarat dengan "nilai moral" itu hanya mampu meciptakan siswa yang pandai dan pintar secara kognitif saja. Sedangkan penciptaan karakter nilai yang bermoral secara komprehensif tidak membuahkan hasil apa-apa. Afeksi siswa justru semakin tumpul, karena system penerapan pembelajarannya ditemukan banyak masalah.
Jika kita amati secara kasat mata pemikiran nilai moral pada kurikulum 2004 dan revisi kurikulum 2006 atau yang disebut KTSP pendidikan moral dan budi pekerti seolah-olah kehilangan identitasnya. Moral, norma, dan budi pekerti yang merupakan tujuan dari pembentukan karakteristik siswa yang diharapkan dan di agung-agungkan banyak pihak seolah kehilangan bentuk dan raganya.
Namun, jika kita amati lebih mendalam, eksistensial pendidikan nilai, moral dan budi pekerti tumbuh dan berkembang bukan hanya pada satu atau dua mata pelajaran yang dibebani membentuk nilai luhur itu, namun harus tumbuh dan berkembang pada semua mata pelajaran. Artinya, tugas menciptakan moral, norma, dan budi pekerti bukan saja tanggung jawab guru mata pelajaran tertentu, tetapi secara komprehensif merupakan tugas dan tanggung jawab bersama guru mata pelajaran dan komponen pendidikan lainnya. Jadi, mata pelajaran- mata pelajaran lain mendapat tugas dan tanggung jawab yang sama dengan guru yang mengampu mata pelajaran PAI, PKN, Sejarah, dsb dalam membentuk perilaku siswa yang bernilai, bermartabat, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU No. 20 Tahun 2003 tentang SPN pasal 3). Sehingga status pendidikan nilai, moral, norma, dan budi pekerti pada kurikulum KTSP termasuk bagian dari hiden curriculum (kurikulum yang tersembunyi). Simpulannya semua mata pelajaran itu wajib bermuatan pendidikan Nilai Moral dan Norma, baik melalui pembelajaran intrakurikuler, ekstrakurikuler, maupun kokurikuler.
Pemikiran Idealisme Pendidikan Nilai Moral di Lingkungan Keluarga
dan Institusi Pendidikan Formal
Oleh Apep Munajat

Manusia secara kodrati telah dianugrahi dimensi nilai dan moral. Tidak ada seorang pun yang free value atau bebas nilai. Pendidikan Nilai dan Moral sebagai kodrat manusia wajib terlaksana langsung ataupun tidak langsung dalam kehidupannya, baik di lingkungan keluarga maupun interaksinya di sekolah.
Keluarga merupakan organisasi terendah yang secara langsung memberikan sumbangan terbesar dalam menumbuhkan nilai moral anak-anaknya. Keluarga sebagai pendidikan pertama, dan orang tua sebagai guru pertamanya harus mampu mendidik dan melatih sekaligus memberikan teladan bagi anak-anaknya dalam berperilaku yang mencerminkan Nilai Moral yang sempurna.
Menurut Reiner Dobbert dan Nunner Winkler dalam Kosasih Djahiri menyatakan bahwa keluarga merupakan lembaga social yang paling primer dan penentu karakter diri seseorang. Hal ini dikarenakan pendidikan dalam keluarga berlangsung 24 jam di mulai dari bangun tidur sampai dengan mau tidur kembali, lebih luas lagi penbdidikan keluarga itu terjalin sejak lahir sampai dengan masuk liang lahat. Bahkan semenjak dalam kandungan pun pendidikan Nilai Moral dan Norma bisa terjadi melalui perilaku dan perlakuan orang tuanya.
Tentang rasionalisasi pendidikan Nilai Moral di sekolah berlangsung yang paling efefktif. Hal ini karena sekolah sebagai institusi formal yang di dalamnya banyak komponen, system dan subsistem yang kesemuanya berintegrasi untuk mencapai tujuan, di antaranya pembentukan Nilai Moral dan Norma pada peserta didik melalui pendekatan dan metode tepat untuk menghasilkan peserta didik yang bernilai, bermoral, dan bernorma. Guru sebagai bagian dari system di persekolahan memiliki hak perogratif penuh untuk menciptakan kader siswa bernilai bermoral, dan bernorma. Langkah pembentukan nilai moral ini bisa diaflikasikan melalui pendidikan afektif (sikap), sehingga menghasilkan siswa yang pintar dan diimbangi dengan emosi afektualnya yang cerdas.
Alhasil pendidikan nilai moral di sekolah dilaksanakan melalui pembelajaran dalam rangka pembentukan pengalaman yang komprehensif melalui teknik, metode, dan pendekatan pembelajaran yang diterapkan guru. Jika kita telusuri perkembangan pendidikan nilai moral di lembaga pendidikan nampak mengalami fluktuatif. Pendidikan nilai moral dikembangkan sebagai akibat dari out put (lulusan siswa) yang memang sebenarnya dari hasil pendidikan formal itu belum mampu membentuk prilaku siswa yang bernilai menurut acuan norma agama maupun acuan norma nilai kemasyarakatan.
Dalam perkembangan kurikulum di Indonesia, muatan pendidikan nilai dan moral berada pada bentangan mata pelajaran yang memang dibebankan untuk mengolah dan membentuk perilaku siswa yang memiliki nilai luhur dan memiliki moral yang normative menurut ukuran mutan nilai pada mata pelajaran itu. Misalnya kita sebut saja pendidikan Budi Pekerti, Pendidikan Moral Pancasila (PPKn atau PKn), PSPB, dan Pendidikan Agama Islam khususnya pada kurikulum-kurikulum sebelum kurikulum 2004. Mata pelajaran-mata pelajaran ini seolah-olah berkewajiban "memaksakan" siswa berperilaku seperti muatan mata pelajaran itu. Ternyata dari produk-produk mata pelajaran yang sarat dengan "nilai moral" itu hanya mampu meciptakan siswa yang pandai dan pintar secara kognitif saja. Sedangkan penciptaan karakter nilai yang bermoral secara komprehensif tidak membuahkan hasil apa-apa. Afeksi siswa justru semakin tumpul, karena system penerapan pembelajarannya ditemukan banyak masalah.
Jika kita amati secara kasat mata pemikiran nilai moral pada kurikulum 2004 dan revisi kurikulum 2006 atau yang disebut KTSP pendidikan moral dan budi pekerti seolah-olah kehilangan identitasnya. Moral, norma, dan budi pekerti yang merupakan tujuan dari pembentukan karakteristik siswa yang diharapkan dan di agung-agungkan banyak pihak seolah kehilangan bentuk dan raganya.
Namun, jika kita amati lebih mendalam, eksistensial pendidikan nilai, moral dan budi pekerti tumbuh dan berkembang bukan hanya pada satu atau dua mata pelajaran yang dibebani membentuk nilai luhur itu, namun harus tumbuh dan berkembang pada semua mata pelajaran. Artinya, tugas menciptakan moral, norma, dan budi pekerti bukan saja tanggung jawab guru mata pelajaran tertentu, tetapi secara komprehensif merupakan tugas dan tanggung jawab bersama guru mata pelajaran dan komponen pendidikan lainnya. Jadi, mata pelajaran- mata pelajaran lain mendapat tugas dan tanggung jawab yang sama dengan guru yang mengampu mata pelajaran PAI, PKN, Sejarah, dsb dalam membentuk perilaku siswa yang bernilai, bermartabat, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU No. 20 Tahun 2003 tentang SPN pasal 3). Sehingga status pendidikan nilai, moral, norma, dan budi pekerti pada kurikulum KTSP termasuk bagian dari hiden curriculum (kurikulum yang tersembunyi). Simpulannya semua mata pelajaran itu wajib bermuatan pendidikan Nilai Moral dan Norma, baik melalui pembelajaran intrakurikuler, ekstrakurikuler, maupun kokurikuler

Rekonstruksi pendidikan idul adha

Rekonstruksi Pendidikan Idul Adha Oleh  Apep Munajat (Penulis Adalah Pengurus Pergunu Kabupaten Cianjur, Mahasiswa Program Doktor UN...